Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2022

Rumit

 Pagi ini, terlalu dini tuk menghakimi sebuah cuaca Berpura-pura ahli untuk meramal hujan atau tropis seperti biasanya Eh, tapi inikan hari Minggu, bukankah banyak yang berpesta? Sepertinya, takkan hujan.  "Jangan sok tahu, kau bukan Tuhan" Namun, aku adalah peramal  "Peduli dengan peramal, aku hanya percaya Tuhan" Kulihat kembali langit yang sepertinya bebas dari awan  Ada cahaya dari barat yang perlahan naik Namun, kulihat sisi lainnya Adanya gumpalan awan hitam besar "Hahaha, sepertinya akan hujan," gumamku dalam batin Tapi, ini sudah mulai panas Aneh sekali, hawanya sudah panas Kulihat dan kudengar pesawat yang lewat di atasku "Sepertinya akan cerah"

Monolog Tanpa Jawab

 Malam ini, seperti rencana kita minggu lalu. Kau akan pulang ke kota tempat kau tinggal dan bekerja sekarang. Rasanya, agak sulit untuk menerima perpisahan. Seperti biasa. Ingin menangis, tetapi entah mengapa kali ini terasa tertahan di pelupuk mata. Biarlah. Aku harus kuat. Toh, kita sudah beberapa minggu bersama.  Siang ini, rasanya rumah dan kotaku terasa panas. Gerah, malas, dan ingin tidur. Namun, kusadar, di kamar sebelah telah ada lelaki yang telah menemaniku selama 6 tahun. Seperti biasa, kita bernegosiasi untuk pergi ke mana. Setelah dengan rasa malas-malasan, kuiyakan untuk pergi mencari monitor di salah satu mal yang ada di kota ini walau sebelumnya aku tetap bersikeras agar lelaki ini mencarinya melalui daring saja. Toh, harga lebih murah, simpel, tak perlu lelah-lelah di siang bolong pergi ke mal dan pusing karena kepadatan di hari Minggu. Semua orang keluar dari rumah tuk melakukan berbagai kegiatan rekreasi di mal. Wajarlah, dapat kusebut kotaku ini sebagai kot...

HAMBAR

 Memang benar katanya, jangan memaksakan memakan sesuatu yang hambar Menu yang ada memang banyak, tapi semuanya hambar di lidah Mau ditaruh di bagian lidah mana pun, hasilnya sama tetap hambar Lidah kelu, bahkan terasa kerongkongan dan suara sembar Katanya, akibat sebuah penyakit yang tersebar Bukan penyakit, katanya juru masaknya yang memang tidak pandai Bukan, bukan tidak pandai, tetapi memang rasanya rangan kaku Mencampur berbagai rasa yang semestinya nikmat di pojok lidah Harga semuanya mahal, tidak dapat dibeli lebih  Alasan konyol! Cari bahan baku lain! Sulit! Tidak bisa!  Cih! terlalu idealis!  Biar saja katanya, semuanya tidak pernah merasa rasa Katanya, bukan lidah kalian, aku penyebabnya Juru masak bangkit ke panggung sandiwara Berteriak lantang seisi ruang terkesima  Apanya? Semuanya tidak ada harganya! Menu menu dan rasa yang sengaja dimanupulatif!

CEPAT

 Kutahu, rindu campur darah atas rasa khawatir minumlah sedikit saja, katamu. aku tidak dapat meminum ini terus, bukan sedikit.  Ini sudah banyak dan aku ingin berhenti untuk menyogokku dengan segelas minuman ini Kita sudah lelah, kau harus minum. Harus banyak banyak. Aku tak bisa minum untuk hanya tertidur pada mimpi yang menyakitkan. Mengingat kau yang tidak ada di sampingku. Melihat masa lalu yang tidak tergapai Minum! Jangan kau paksakan ini semua, aku tak mau!

B.I.S.A.

Khawatir, aku menunggu semua bisa yang dilontarkan untuk menusuk ke dada membiarkan semuanya mati tanpa ampun lalu mengundang air mata penuh lalu, katanya bagaimana nasib si besar jika ditinggalkan, bisa menjadi lebih banyak lalu, biarkan saja si kecil untuk ditinggal, bisa lebih parah menusuk dada mereka tidak tahu jalan yang telah dilalui melalui hutan sepi dini hari masuk dan menyusuri petak jalan demi tembus ke jalan besar  kota ini sudah bosan melihat berbagai jalan terus sepanjang masa lalu, bisa hadir untuk menghancurkan segala kepercayaan yang dibangun? kepergian membuat semua tidak bisa jernih memilih dan memilah menjadi kesulitan sendiri untuk melampiaskan emosi terpendam mereka tidak pernah tahu dan menahu, lontarkan saja bisa yang menanar toh, kecil yang memperolehnya dan teracuni olehnya dan segalanya bukankah kita telah berlari hingga jalan raya ini, walau kita belum menemukan kendaraan? kabut tebal terlalu menutupi jalan dan arah yang semestinya kita bisa tuju bisa ...

PULANG 2

 Entah mengapa, aku benci dengan kata itu. Sering kali, berkali-kali atau bahkan jutaan kali pun, aku tidak menyukainya.  Pagi hari, dia mengabariku ingin pulang ke kampungnya alias rumahnya karena papanya yang sedang sakit keras dan tidak sadarkan diri semalam karena muntah hitam yang entah tak jelas asal muasal penyebabnya. Entahlah. Ia sudah siap-siap dan dengan berbagai peralatan dan tasnya yang akan dibawa. Penerbangan ke Padang membawanya harus transit ke Jakarta dengan beberapa puluh menit lalu singgah sebentar dan pergi terbang.  Dia memang sulit dihubungi, tetiba. Katanya, dia khawatir dan entah mengapa semuanya terasa berbeda saat dia menolak jika aku ikut ke kota itu. Entahlah, mungkin aku harus menulis kisahan yang terjadi beberapa minggu lalu di kota ini, kota di tempat aku ditelantarkan oleh lelaki yang kupercayai dia adalah calon imamku dan berbagai kesalahpahaman lainnya. Sepanjang dua minggu ini, aku hanya sakit dan sakit. Hingga hari ini pun.  Ia sa...