Malam ini, seperti rencana kita minggu lalu. Kau akan pulang ke kota tempat kau tinggal dan bekerja sekarang. Rasanya, agak sulit untuk menerima perpisahan. Seperti biasa. Ingin menangis, tetapi entah mengapa kali ini terasa tertahan di pelupuk mata. Biarlah. Aku harus kuat. Toh, kita sudah beberapa minggu bersama.
Siang ini, rasanya rumah dan kotaku terasa panas. Gerah, malas, dan ingin tidur. Namun, kusadar, di kamar sebelah telah ada lelaki yang telah menemaniku selama 6 tahun. Seperti biasa, kita bernegosiasi untuk pergi ke mana. Setelah dengan rasa malas-malasan, kuiyakan untuk pergi mencari monitor di salah satu mal yang ada di kota ini walau sebelumnya aku tetap bersikeras agar lelaki ini mencarinya melalui daring saja. Toh, harga lebih murah, simpel, tak perlu lelah-lelah di siang bolong pergi ke mal dan pusing karena kepadatan di hari Minggu. Semua orang keluar dari rumah tuk melakukan berbagai kegiatan rekreasi di mal. Wajarlah, dapat kusebut kotaku ini sebagai kota metropolitan karena liburan dan rekreasi di sebuah mal. Ielaki itu beralasan karena butuh cepat dan jika daring akan membutuhkan waktu yang agak lama. Baiklah, aku pun mau merangkak dari kamar sebelah dan menemui lelaki ini untuk mengatakan bahwa aku akan segera bersiap pergi.
Benar dugaanku, rasanya panas sekali kota ini. Ingin saja kuberenang di danau atau sebuah genangan atau kolam air es yang membuat kepala dan badanku adem seketika. Belum lagi, macet yang tidak karuan. Rasanya membuat resah saja karena masalah sepele ini. Berkali-kali aku hanya dapat bergumam keluh kesah panas ini dan ingin pindah ke Bandung, kota idamanku sejak dahulu.
Lalu, sesampainya di mal ini, ternyata barang yang kami cari tidak sesuai dengan ekspetasi kami.
"Kamu mau coba ke mal di seberangnya? Mungkin ada karena dulu ada beberapa jenis itu yang dijual di sana", kataku padanya.
"Boleh, yuk kita coba ke sana. Mau bawa motor atau bagaimana?", balasnya.
"Coba kita lihat ke luar. Tuh di sana. Bagaimana menurutmu? Jauh atau tidak? Kalau jauh, naik motor saja yuk!"
"Baiklah"
Ketika itu, aku pegang tangannya yang lembut. Kusentuh dan kucoba untuk merasakan tangannya yang hangat itu. Meski sebenarnya, ia tidak merasa nyaman karena selama ini, dia jarang bahkan tidak mau untuk menjamah atau dekatku pada di publik. Memang anaknya seperti itu. Rasanya, sebenarnya, diri ini seperti tidak ada harga diri atau urat malu yang sudah putus sejak bersama lelaki ini. Tenang saja, lelaki ini sering sekali menolak untuk kusentuh atau kutarik bajunya. Katanya, ini tidak sesuai dengan ideologi atau prinsip hidupnya selama ini. Toh, rasanya, entah mengapa menjadi pusing jika mendengarkan perkataan lelaki ini. Bodo amat batinku, segera kusentuh jemari-jemarinya yang panjang dan ramping itu. Hangat tubuh ini membuat seperti adanya arus yang menyambar ke hatiku yang terdalam. Setelahnya, arus itu mampir ke otakku yang mengingatkan bahwa lelaki ini akan pulang pada malam ini. Arus dari kepalaku tetiba turun ke hatiku yang harus menerima harus berpisah dengan lelaki ini pada malam ini.
"Baiklah, tidak boleh menangis. Harus kuat.", otakku yang baik berusaha membisikkan hal tersebut ke perasaanku. Namun, dasar perasaanku yang keras kepala! Dia membisikkan itu ke mataku dan akhirnya mataku mengeluarkan tangisan kecil yang harus segera disingkirkan agar lelaki ini tidak tahu bahwa aku selalu merasa kehilangan ia ketika waktu yang kejam datang untuk memisahkan kami.
Akhirnya, aku bersama lelaki ini pergi ke mal lain. Alhasil, barang yang kami cari pun tidak ada pula. Kami akhirnya memutuskan hanya untuk makan dan salat. Seusainya, aku hanya menikmati waktu yang panjang di jalanan macet Minggu sore ini. Kudengar suara batuknya yang semakin menjadi.
Oh iya, tentang batuk ini. Kadang aku merasa dia tampil sangat kurus dan tidak memiliki pola hidup sehat semenjak pertikaian bulan awal dan kematian ayahnya. Atau sebenarnya ia menjadi kurus ini karena diriku? Entahlah. Kupegang bahunya yang langsung kucubit tulangnya. Dasar hatiku yang cemen. Pegang bahu lelaki ini saja aku ingin menangis. Bukan karena kenapa-kenapa, tapi karena ia kurus sekali. Pernah beberapa kali aku bertanya, "Apakah kau ada masalah? Apa yang kau pikirkan? Mengapa tidak kau bagikan denganku. Siapa tahu, aku dapat membantumu.
Namun, lelaki itu hanya mengatakan, "Tidak, aku baik-baik saja."
Kadang, terlintas di kepalaku, perasaanku yang berbisik bahwa sebenarnya lelaki ini banyak menutupi kesedihannya yang dibuat olehku dan ingin lepas dariku. Entahlah. Kupernah lontarkan hal itu kepada lelaki itu. Namun, ia menyangkal dan cukup sekali saja pertanyaan itu. Jika berkali-kali, marahnya akan memuncak dan membuat semuanya hancur, pecah dan tidak terkendali.
Kembali lagi, suara batuk yang disebabkan pola hidup yang tidak sehat dan kurang minum yang ia lakukan. Aku sudah berkata agar selalu minum, tapi ia hanya ia dan kadang menyangkal bahwa ia sudah minum banyak. Baiklah.
Tidak hanya bahu itu, kupegang pinggangnya yang lama-kelamaan mengecil. Iya, lingkar pinggangnya yang lama-lama mengecil. Menyedihkan. Kembali perasaanku membisikkan, "Ini karena kamu kali. Lelaki ini berubah. Ingat dulu di kota Ban dia memiliki tubuh yang padat. Tidak seperti ini."
Hanya dia dan Tuhan yang sebenarnya tahu apa yang lelaki itu pikirkan. Aku hanya berharap menerka dan terkaanku selalu salah, lalu lelaki itu akan mengucap, "Terserah kamu. Apa yang terlontar dari mulut kamu dan apa yang kamu pikirkan sudah absolut dan tidak dapat diubah."
"Lalu, jika aku salah, mengapa ia tidak memberikan jawaban yang tepat. Padahal, aku sudah minta ia memeriksa hasil otakku ini."
Sesampainya di rumah, hanya butuh 20 menit kami di rumah dan berangkat kembali mengantarnya ke sebuah stasiun. Dari rumah menuju stasiun ini, rasanya perasaanku tidak dapat menutupi rasa yang tidak ingin berpisah. Langit sore yang menggelap dan angin yang begitu dingin, rasanya mereka kompak membuat suasana perpisahan yang apik untuk malam ini. Jujur, aku tidak ingin lelaki ini bahwa aku lemah karena berpisah saja selalu menangis tidak karuan.
Sesampainya di stasiun, aku bertanya kepada lelaki ini, "Kapan kita akan bertemu kembali?"
"Nantilah, kita rencanakan lagi", jawabnya yang entah mungkin menurutku seperti malas menjawab pertanyaanku ini. "Apakah ia merasa tidak mendapatkan sesuatu hal dari kedatangannya ke kota ini, ke rumahku ini?"
Sesungguhnya, jika waktu diputar kembali, aku ingin menyusun karierku di kota yang sama dengan lelaki ini, bukan terpisah ribuan kilometer yang melelahkan dan menghabiskan materi. Aku harus mengantarnya ke stasiun lain, bukan stasiun kini yang kami singgahi. Di kereta ini, aku berikan satu boods headsetku. Sengaja, aku tidak dapat berkata-kata. Aku hanya ingin berucap melalui alunan musik dan lagu yang akan kuputarkan. Mulai dari lagu Sayonara, Monster, dan Kupergi. Semuanya kuputar agar lelaki ini mengetahui perasaanku. Semoga. Namun, kulihat ekspresinya yang sepertinya malas atau mungkin tidak peduli atau lelah atau apalah yang sulit kuterka.
Kami mendengarkan 3 lagu tersebut hingga di tujuan kami. Akhirnya, kuantar lelaki itu menaiki kendaraan yang mengantarkannya pulang ke kota tinggalnya. Tidak ada sesuatu yang spesial. Tidak seperti orang lain yang akan memeluk, menyalam, atau memberikan alunan kepak telapak tangan. Mungkin ia sudah lelah. Namun, ia mengucapkan terima kasih untukku.
Akhirnya, aku harus pulang ke rumahku. Naik kereta dan motorku yang kutitip di stasiun. Sepanjang perjalanan, aku hanya merenungkan selama beberapa minggu bersama lelaki ini.
"Wah, tidak terasa ya, sudah dua minggu kita bareng", kataku ketika ingin mengantarnya.
"Bukan dua minggu, tiga minggu. Di kepalaku, ingatnya tiga minggu", sahutnya yang tidak mau kalah.
Ketika sampai di parkiran, kulihat ada dua helm yang kugunakan dan lelaki itu gunakan. Rasanya, ada yang hilang antara malam ini dari malam yang sebelumnya. Kucoba untuk tetap teguh pada otakku yang membisikkan, "Kau harus kuat".
Malamnya, kuputar lagu sambil menulis sebuah ingatan terkait kisahan dua hari yang terasa singkat bersama lelaki itu di kota ini, di rumahku ini. Kulihat kamarku yang diitinggali oleh lelaki ini. Posisi barang-barang masih sama seperti lelaki itu tinggalkan. Rasanya, mulai sedih mengingat semestinya, lelaki itu berbaring di tempat tidur sambil main hapenya ketika kuintip melalui celah pintu kamarku. Atau ia sedang duduk di kursi belajarku sambil memainkan laptop atau hapenya. Rasanya, tetiba kurindu dengan lelaki itu. Padahal, belum ada 3 jam, jasadnya tidak ada di depanku.
"Apakah kau bahagia sudah tidak bersamaku lagi setelah berminggu-minggu selalu bertemu, Lelaki?"
"Biasa saja aku mah."
"Senang ya?"
"Sedih aku."
Aku mencoba untuk kuat walau angin selalu memberikan ruang tuk menyesali, mengingat, dan menyadarkanku untuk waktu depan yang harus kujalani sendiri. Rasanya, aku ingin dipeluk hangat oleh bau tubuh lelaki itu. Apakah lelaki itu merasakan hal yang sama? Ketika rasa khawatir menacap di kepala dan hati, hanya ada satu obat yang membuat tenang, yaitu diriku? Apakah itu pernah terpikirkan oleh lelaki itu? Entahlah.
Aku ingin menulis sebuah perasaan yang sulit diungkapkan oleh perempuan yang entah bingung dengan arah benang yang akan ditarik dari gulungan kusut ini. Apakah lelaki itu akan berjuang seperti harapan yang diberi angin yang memberikan pesan bahwa semuanya akan baik-baik saja?
Semuanya berusaha dipertahankan oleh waktu. Biarkan kita jalani apa yang kita pertahankan. Oh, ya, hanya semesta yang tahu apa yang kita harap dan perjuangkan. Bagaimana hasilnya? masih berbalut harapan dan tanya yang mungkin nantinya, lebih menebal atau berkurang.
Kuremas jemari yang rasanya ingin marah dengan alur yang membuat semakin rumit untuk situasi saat ini. Biarkan lelaki itu bernapas dan memilih untuk semuanya. Apakah nanti, angin membawa pesan baik atau buruk. Kutatapi langit yang gelap tanpa bintang, katanya, bintang itu adalah kamu. Canda yang menurut ia sangat simpel dan mungkin keluar begitu saja dari mulutnya. Namun, ia tidak tahu bahwa itu membuat sebuah harapan yang terus subur dalam ruangan hati yang sulit digantikan dengan lelaki lain.
Ruang hati ini, terasa kosong
Kulihat kau duduk di tengah dengan cahaya fanaDiam dan mendengar ciutan dari orang-orang yang tidak mengerti
Kulihat kau di sana, begitu gelap dan begitu kusut
Namun, kutahu Tuhan sangat baik
Kutahu, kau mampu untuk bertahan dengan tokoh dan penokohan antagonis
Kulihat kau beberapa kali ingin keluar dari ruang ini
Kututup pintu dan kubuang entah ke mana agar kau tak bisa pergi
Namun, cari kembali kunci itu dan kubuka pintu lebar-lebar
Kupersilakan kau tuk pergi, menggembara ke tempat baru
Namun, tanganmu melambai tuk menolak
Kuingin semuanya seperti dahulu
Tertawa di bukit binatang dengan lega
Lalu, menyantap langit penuh bintang dengan dingin malam
Tolonglah, duduk kembali ke posisimu
Mari kita ke ruang lain bersama membuat cerita baru
Jangan kau memilih tuk keluar
B, 2022
Komentar
Posting Komentar