Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Burung

H ujan terus menerus di sini, entah, aku tak dapat terbang. Aku dikurung dalam sangkar oleh diriku sendiri dan juga keadaan. Aku ingin menyalahkan keadaan dan waktu. Sebenarnya, masih banyak lagi yang ingin kusalahkan atas segalanya. Namun, kusadar, itu tak pantas. Temanku, burung lain sudah asyik terbang sekarang. Entah ke mana mereka, bertengger ke pohon yang satu, satu lagi, dan yang satu lagi. Pokoknya banyak. Sedangkan aku hanya bisa di sangkar ini melihat ke luar bersama derasnya hujan. Ahhh, aku tidak suka! aku ingin terbang melintasi cakrawala yang ingin kulewati dan menikmati segarnya angin. Aku diam di sarang ini. Katanya, diam saja takkan memberikan arti. Lalu, bagaimana kuharus bergerak jika ruang gerakku dibatasi? Katanya, sabar, tunggu waktu. Namun, terlalu optimis ternyata. Ini dunia metafisika, bukan dunia positivisme yang selalu diagungkan negara Barat loh. Toh, kedengarannya narasi positivisme Barat sudah meredup dan hancur. Sebagai burung, kurindu lembutnya udara...

Gelisah

Sunyi, menemani malamnya. Memanggil kembali ke beberapa waktu lalu. Terdengar suatu nada yang memanggilnya untuk mengingat silam. Ternyata, terlalu banyak yang telah ia terjang dan semuanya di luar awangnya. Dia, memang dulu merasa mundur berjalan dalam kerikil dengan telapak kaki telanjang. Lalu, pantaskah ia memanggil memori itu kembali? Sepertinya, ia tak ingin, tetapi ada melodi dan lagu yang memaksa otaknya untuk kembali memanggil hal yang sebenarnya tak ingin diingatnya. "Membayangkan wajahmu adalah siksa... Engkau telah menjadi racun bagi darahku" Ya, penggalan syair Rendra yang popularitasnya tak dapat disangkal. Hampir semua penikmat syair, menyukainya. Namun, ia tak menyukainya saat ini. Lagu yang memanggil ke masa lalu. Sebenarnya, tak masalah jika memanggilnya dan masuk ke dalam lorong waktu untuk melihat-lihat kembali skenario pada zamannya. Namun, ada perasaan yang mungkin tak sanggup untuk diungkapkan. Ia bukan seperti ia yang dahulu, banyak filsuf dan p...

Mata

Mataku tertutup, entah mengapa sulit untuk kubuka kembali. Ternyata, waktu yang tidak terlalu lama membuat semuanya berubah. Tanpa disadari. Apakah ini sebuah rasa yang tak kunjung pernah berakhir? Ingin kubuka mata dan melihat keberadaan hidung itu, tetapi rasanya sulit. Bagian hidung pun aku sulit, apalagi keseluruhannya. Bersalahkah aku? atau wajarkah? Rasanya sangat rapat hingga kutaksempat berpikir sejenak untuk membukanya kembali. Apa yang salah dan apa yang benar? bukankah kudiajar berfilsafat saat ini? sudah berumur, dewasalah. Tetapi, mataku tetap sulit untuk membuka. Rasa ini seperti mengendap berabad-abad. Pasti paham, tapi seakan tak. Kurasa aku ingin seperti biasa, namun tak bisa. Ada rasa bunga yang kuingin sampaikan dan kubagikan sewaktu dulu, rasanya sulit memulainya, entahlah... Mata ini membuat jarak berabad yang kunjung tak kupahami.  Maafkan. Depok, 4 Oktober 2018 dengan rasa tanya yang membuncah

Tinggal

Tinggal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) (https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/tinggal): v   masih tetap di tempatnya dan sebagainya; masih selalu ada (sedang yang lain sudah hilang, pergi, dan sebagainya):   saya disuruh -- di rumah ;  selamat -- v   sisanya ialah ...; bersisa ...; tersisa ...; yang masih ada hanyalah ...:   delapan dikurangi dua -- enam ;  uangnya -- dua puluh rupiah ;  tubuhnya kurus kering -- kulit pembalut tulang ;  ia disuruh menyelesaikan pekerjaannya yang -- v   ada di belakang; terbelakang:   pelajaran apa yang -- dari sekolah lain v   tidak naik kelas (tentang murid sekolah):   di kelas kami yang -- dua orang v   sudah lewat (lalu; lampau):   masa yang gilang-gemilang itu sudah -- v   diam (di):   berapa tahun Saudara -- di Medan ;  saya -- di kampung v   selalu; tetap (demikian halnya):   saudara -- saudara, uang -- uang ;  kita tidak -- diam,...

Pulang

Akhirnya,  aku pulang setelah lama menggembara di kota yang kusebut sebagai persinggahan terbaik sepanjang hidupku. Terima kasih, impian kecilku telah tercapai, singgah beribu-ribu masa dalam satuan detik di persinggahan terbaik. Namun, aku tahu, aku harus pulang. Setelah   beberapa lama aku pergi dan tak kembali, aku paham bahwa aku harus pulang. Sebenarnya, aku pulang dengan kekalahan di hatiku. Dua tahun kucoba mengejar segala harapku, tetapi semuanya tidak seperti yang kuinginkan. Berpundi-pundi sesak, air mata, kebuntuan, dan rasa yang tak kuingin hadir muncul dan kusebut sebagai kekalahan. Aku kalah terhadap diriku sendiri.  Sebenarnya,  selama dua tahun, sejak kuakhiri perjalanan awal hidupku dan kubuka gerbang baru hidupku, aku merasa seperti sesuatu yang kosong. Entahlah. Dulu, aku seperti seonggok daging yang menggebu untuk membayar janjiku pada pemimpin nomor satu negeri ini, Pak SBY. Aku bayar janjiku dengan kata yang kusebut mengabdi. Memang, bermakna ...