Akhirnya, aku pulang setelah lama menggembara di kota yang kusebut sebagai persinggahan terbaik sepanjang hidupku. Terima kasih, impian kecilku telah tercapai, singgah beribu-ribu masa dalam satuan detik di persinggahan terbaik. Namun, aku tahu, aku harus pulang.
Setelah beberapa lama aku pergi dan tak kembali, aku paham bahwa aku harus pulang. Sebenarnya, aku pulang dengan kekalahan di hatiku. Dua tahun kucoba mengejar segala harapku, tetapi semuanya tidak seperti yang kuinginkan. Berpundi-pundi sesak, air mata, kebuntuan, dan rasa yang tak kuingin hadir muncul dan kusebut sebagai kekalahan. Aku kalah terhadap diriku sendiri.
Sebenarnya, selama dua tahun, sejak kuakhiri perjalanan awal hidupku dan kubuka gerbang baru hidupku, aku merasa seperti sesuatu yang kosong. Entahlah. Dulu, aku seperti seonggok daging yang menggebu untuk membayar janjiku pada pemimpin nomor satu negeri ini, Pak SBY. Aku bayar janjiku dengan kata yang kusebut mengabdi. Memang, bermakna subjektif, setiap orang memaknainya berbeda. Memang, mengabdi bukanlah hal yang terkukung waktu. Namun, kurasa sekarang apakah aku boleh berlari kembali? Ya, kuputuskan untuk berlari setelah dua tahun aku berjalan santai dengan berjuta harap yang menghiasi angan sebelum tidurku.
Belanda memang bukan jalanku pulang untuk masa ini, tetapi yakinlah aku akan menemuimu pada suatu hari nanti. Yakinlah. Memang, pulangku kali ini bukan dengan tangan kosong, setidaknya aku membawa harap lain yang telah kurajut dan ingin kupakai saat suatu hari nanti. Jubah ini baru kurajut polanya saja. Jubah yang rajut ketika semester awal perkuliahan jenjang strata. Setidaknya, aku tak ingin menjadi seonggok daging tak ada rasa syukur di hatinya. Aku berterima kasih kepada Penciptaku atas segala kenikmatan selama ini.
Sebenarnya, kali ini aku ingin membahas mengenai persinggahan terbaik dalam hidupku ini. Jujur, jika aku selesai merajut, aku ingin sekali memakai jubahku di podium impianku, ya, tentunya persinggahan yang kuanggap terbaik ini. Semoga.
Persinggahan ini mempertemukanku dengan banyak seonggok daging yang berwarna, seonggok daging yang membuat mataku berggonta-ganti. Ya, mata karena mata tak pernah bohong mengungkapkan segalanya. Semuanya melekat di pikiranku, bahkan hingga pori-pori hatiku. Untuk semua seonggok daging yang pernah bercengkrama ataupun merajut kenangan bersamaku, kuucapkan terima kasih. Jika kupunya banyak hati, akan kuberikan hatiku kepada mereka karena mereka sangat bermakna. Entahlah, mereka membuka pintu hidupnya dan membiarkan aku masuk dan singgah mungkin hingga saat ini. Teruntuk para seonggok daging yang mengajariku bagaimana berdiri, berjalan, dan hingga berlari hingga saat ini. Ambillah hatiku.
Persinggahan ini sangat berwarna dan jujur aku ingin hidup seribu tahun bak Chairil Anwar katakan, bahwa aku ingin hidup seribu tahun di persinggahan ini. Sebenarnya, aku tak menggembol kekalahan, persinggahan ini menyuguhkan berbagai kebahagian, kecerian, popularitas, dan hal lainnya yang sangat diidamkan oleh orang banyak. Terima kasih menjadikanku sebagai seoonggok daging yang mungkin agak bersinar di tengah sepi sunyi malam.
Pulang, ya aku harus pulang sekarang. Pulang, berlari, dan merajut, walaupun kuharus meninggalkan. Pulang bukanlah sebuah akhir, bukan? Percayalah hati, ini adalah permulaan. Bukankah hidup selalu dihiasi permulaan? Kubawa gembolan kekalahan dan ingatlah, berjanji kuuntuk membuangnya di danau itu. Kubuang segalanya, Kutampung dan kupunguti kembang gugur di setiap persimpangan jalan.
Setelah beberapa lama aku pergi dan tak kembali, aku paham bahwa aku harus pulang. Sebenarnya, aku pulang dengan kekalahan di hatiku. Dua tahun kucoba mengejar segala harapku, tetapi semuanya tidak seperti yang kuinginkan. Berpundi-pundi sesak, air mata, kebuntuan, dan rasa yang tak kuingin hadir muncul dan kusebut sebagai kekalahan. Aku kalah terhadap diriku sendiri.
Sebenarnya, selama dua tahun, sejak kuakhiri perjalanan awal hidupku dan kubuka gerbang baru hidupku, aku merasa seperti sesuatu yang kosong. Entahlah. Dulu, aku seperti seonggok daging yang menggebu untuk membayar janjiku pada pemimpin nomor satu negeri ini, Pak SBY. Aku bayar janjiku dengan kata yang kusebut mengabdi. Memang, bermakna subjektif, setiap orang memaknainya berbeda. Memang, mengabdi bukanlah hal yang terkukung waktu. Namun, kurasa sekarang apakah aku boleh berlari kembali? Ya, kuputuskan untuk berlari setelah dua tahun aku berjalan santai dengan berjuta harap yang menghiasi angan sebelum tidurku.
Belanda memang bukan jalanku pulang untuk masa ini, tetapi yakinlah aku akan menemuimu pada suatu hari nanti. Yakinlah. Memang, pulangku kali ini bukan dengan tangan kosong, setidaknya aku membawa harap lain yang telah kurajut dan ingin kupakai saat suatu hari nanti. Jubah ini baru kurajut polanya saja. Jubah yang rajut ketika semester awal perkuliahan jenjang strata. Setidaknya, aku tak ingin menjadi seonggok daging tak ada rasa syukur di hatinya. Aku berterima kasih kepada Penciptaku atas segala kenikmatan selama ini.
Sebenarnya, kali ini aku ingin membahas mengenai persinggahan terbaik dalam hidupku ini. Jujur, jika aku selesai merajut, aku ingin sekali memakai jubahku di podium impianku, ya, tentunya persinggahan yang kuanggap terbaik ini. Semoga.
Persinggahan ini mempertemukanku dengan banyak seonggok daging yang berwarna, seonggok daging yang membuat mataku berggonta-ganti. Ya, mata karena mata tak pernah bohong mengungkapkan segalanya. Semuanya melekat di pikiranku, bahkan hingga pori-pori hatiku. Untuk semua seonggok daging yang pernah bercengkrama ataupun merajut kenangan bersamaku, kuucapkan terima kasih. Jika kupunya banyak hati, akan kuberikan hatiku kepada mereka karena mereka sangat bermakna. Entahlah, mereka membuka pintu hidupnya dan membiarkan aku masuk dan singgah mungkin hingga saat ini. Teruntuk para seonggok daging yang mengajariku bagaimana berdiri, berjalan, dan hingga berlari hingga saat ini. Ambillah hatiku.
Persinggahan ini sangat berwarna dan jujur aku ingin hidup seribu tahun bak Chairil Anwar katakan, bahwa aku ingin hidup seribu tahun di persinggahan ini. Sebenarnya, aku tak menggembol kekalahan, persinggahan ini menyuguhkan berbagai kebahagian, kecerian, popularitas, dan hal lainnya yang sangat diidamkan oleh orang banyak. Terima kasih menjadikanku sebagai seoonggok daging yang mungkin agak bersinar di tengah sepi sunyi malam.
Pulang, ya aku harus pulang sekarang. Pulang, berlari, dan merajut, walaupun kuharus meninggalkan. Pulang bukanlah sebuah akhir, bukan? Percayalah hati, ini adalah permulaan. Bukankah hidup selalu dihiasi permulaan? Kubawa gembolan kekalahan dan ingatlah, berjanji kuuntuk membuangnya di danau itu. Kubuang segalanya, Kutampung dan kupunguti kembang gugur di setiap persimpangan jalan.
"Karena aku akan menemukanmu suatu saat nanti dengan Tuhanku..."
Komentar
Posting Komentar