Hanya melalui sebuah telepon menjadikan sebuah keinginan yang tak terkandali. Lidahnya memang lebih lihai dari ahli seahli di dunia. Memang terkesan biasa saja, tetapi benar-benar berdampak luar biasa. Hanya mengobrol dengan rekan terkait percintaan yang tidak dapat ditahan. Lalu, cinta mana yang ditunggu dan diulur lagi? Pertanyaan yang membosankan. Namun, nyatanya memang membosankan dan terkesan selalu dia remehkan. Namun, ia lupa adanya lelaki yang mendengar tiap detik dan tiap kata-kata dari lidah yang mungkin tak punya otak.
Akhirnya, dua kata yang menancap dadakan di dada lelaki itu, bosan dan diremehkan. Lelaki itu merasa bahwa ia memberikan segalanya kepada perempuan itu, perempuan yang pernah mencari dan mengejar cintanya. Namun, perempuan itu kini berubah seubah-ubahnya waktu.
"Matiin teleponnya, aku gak kuat dengar pembicaraan kamu," pungkasnya sambil mematikan telepon gengam perempuan itu. "Kamu kenapa sih selalu mengungkit masa lalu? Itukan dulu! Aku udah benar-benar ingin mencintai kamu."
Perempuan itu membalas dengan semangat, "Bukankah kamu yang mengungkapkan aku harus membayar dengan nilai yang harus diusahakan? Bukankah pernikahan hanyalah sebuah ajang gengsi orang tua untuk memamerkan anaknya di ratusan pasang mata? Bukankah untuk agenda pamer itu kita harus menanggung beban yang sama? Bukankah sukuku terlalu tidak pantas untuk sukumu?"
Lelaki itu hanya diam seraya berkata, "Sudahlah, terserah kamu. Itu masa lalu. Bukan yang sekarang. Aku sudah serius dengan kamu."
Mereka hanya saling membelakangi. Semuanya terasa jelas bahwa perempuan itu seakan mulai mempermainkan laki-laki yang mulai tulus padanya. Namun, perempuan itu lelah untuk mengejar dan belum dibuat yakin untuk segala hal yang memang harus dipertahankan. Memang, lelaki itu sedang berusaha, entah berlari dan berlari. Namun, sepertinya memang benar, mata lelaki itu tak bisa dipungkiri. Ia memang telah jatuh dalam ke perempuan itu. Ia kembali untuk mengatakan sekali lagi, "Itu hanya bercandaan. Jangan dimasukkan hati. Jika kamu sakit hati, aku minta maaf."
Perempuan itu hanya mendengar tanpa memasukkan ke dalam hati. Entah keras seperti apa. "Biarlah," desahnya dalam jiwa yang rada memanas. Bukan karena situasi dan kondisi. Namun, karena sikap lelaki yang marah dan mematikan obrolan perempuan itu dengan temannya.
Malam berlalu, mereka berusaha mencari kesibukan masing-masing. Tak terasa beberapa hari lagi, perempuan itu harus pulang pergi kembali dengan jarak yang lama-lama membunuh. Perempuan itu sangat takut jika ia tidak bisa pulang karena situasi pandemi yang menghalangi dan membatasi semua mobilitas seseorang. Ia takut dengan masa depannya, kariernya, dan bundanya yang ia tinggal untuk menemui laki-laki itu. Sebenarnya, perempuan ini memang mencintai laki-laki tersebut. Mencintainya, tetapi semuanya harus diusahakan. Berbagai hal yang harus digunakan untuk menjadikannya yakin akan sebuah ketulusan penerimaan.
"Tak perlu takut, aku akan mengantarmu dengan sepeda motor hingga ke pelabuhan," kata lelaki itu penuh dengan keberanian dan ketulusan. Namun, entahlah, takutnya tetap menjadi walaupun adanya keyakinan dan optimisme. Ini bukan sekadar perdebatan dan pertengkaran terkait telepon malam ini. Ini terkait perasaan yang berubah seperkian detik karena hanya sebuah perhatian. Perempuan itu merasa nyaman setelahnya. "Baiklah, tak apa jika ia akan mengantarku dengan waktu tempuh dua jam ini."
Seketika, perempuan itu agak tenang. Namun, ia mengambil kembali telepon genggamnya dan melihat tanggalan yang menunjukkan bahwa ia tinggal beberapa hari di kota ini. Menjalani hidup berjauhan dan dipisahkan oleh laut dengan lelaki. Ia berusaha untuk menahan tangisnya yang sebenarnya tidak mau menangis. Lalu, ia berpikir mengapa rasa takut muncul lagi setelah beberapa hari ia tidak memikirkan bagaimana rasanya perpisahan.
"Sudahlah, kita menikah saja. Biar kamu selalu ada untukku di sini selamanya. Tidak pulang pergi lagi." Ucapan itu selalu terngiang di kepala perempuan itu. Terlebih lagi, seleksi yang membuat ia begitu tertinggal dan takut. Takut yang kelewat takut. Entahlah, begitu takut.
Akhirnya, dua kata yang menancap dadakan di dada lelaki itu, bosan dan diremehkan. Lelaki itu merasa bahwa ia memberikan segalanya kepada perempuan itu, perempuan yang pernah mencari dan mengejar cintanya. Namun, perempuan itu kini berubah seubah-ubahnya waktu.
"Matiin teleponnya, aku gak kuat dengar pembicaraan kamu," pungkasnya sambil mematikan telepon gengam perempuan itu. "Kamu kenapa sih selalu mengungkit masa lalu? Itukan dulu! Aku udah benar-benar ingin mencintai kamu."
Perempuan itu membalas dengan semangat, "Bukankah kamu yang mengungkapkan aku harus membayar dengan nilai yang harus diusahakan? Bukankah pernikahan hanyalah sebuah ajang gengsi orang tua untuk memamerkan anaknya di ratusan pasang mata? Bukankah untuk agenda pamer itu kita harus menanggung beban yang sama? Bukankah sukuku terlalu tidak pantas untuk sukumu?"
Lelaki itu hanya diam seraya berkata, "Sudahlah, terserah kamu. Itu masa lalu. Bukan yang sekarang. Aku sudah serius dengan kamu."
Mereka hanya saling membelakangi. Semuanya terasa jelas bahwa perempuan itu seakan mulai mempermainkan laki-laki yang mulai tulus padanya. Namun, perempuan itu lelah untuk mengejar dan belum dibuat yakin untuk segala hal yang memang harus dipertahankan. Memang, lelaki itu sedang berusaha, entah berlari dan berlari. Namun, sepertinya memang benar, mata lelaki itu tak bisa dipungkiri. Ia memang telah jatuh dalam ke perempuan itu. Ia kembali untuk mengatakan sekali lagi, "Itu hanya bercandaan. Jangan dimasukkan hati. Jika kamu sakit hati, aku minta maaf."
Perempuan itu hanya mendengar tanpa memasukkan ke dalam hati. Entah keras seperti apa. "Biarlah," desahnya dalam jiwa yang rada memanas. Bukan karena situasi dan kondisi. Namun, karena sikap lelaki yang marah dan mematikan obrolan perempuan itu dengan temannya.
Malam berlalu, mereka berusaha mencari kesibukan masing-masing. Tak terasa beberapa hari lagi, perempuan itu harus pulang pergi kembali dengan jarak yang lama-lama membunuh. Perempuan itu sangat takut jika ia tidak bisa pulang karena situasi pandemi yang menghalangi dan membatasi semua mobilitas seseorang. Ia takut dengan masa depannya, kariernya, dan bundanya yang ia tinggal untuk menemui laki-laki itu. Sebenarnya, perempuan ini memang mencintai laki-laki tersebut. Mencintainya, tetapi semuanya harus diusahakan. Berbagai hal yang harus digunakan untuk menjadikannya yakin akan sebuah ketulusan penerimaan.
"Tak perlu takut, aku akan mengantarmu dengan sepeda motor hingga ke pelabuhan," kata lelaki itu penuh dengan keberanian dan ketulusan. Namun, entahlah, takutnya tetap menjadi walaupun adanya keyakinan dan optimisme. Ini bukan sekadar perdebatan dan pertengkaran terkait telepon malam ini. Ini terkait perasaan yang berubah seperkian detik karena hanya sebuah perhatian. Perempuan itu merasa nyaman setelahnya. "Baiklah, tak apa jika ia akan mengantarku dengan waktu tempuh dua jam ini."
Seketika, perempuan itu agak tenang. Namun, ia mengambil kembali telepon genggamnya dan melihat tanggalan yang menunjukkan bahwa ia tinggal beberapa hari di kota ini. Menjalani hidup berjauhan dan dipisahkan oleh laut dengan lelaki. Ia berusaha untuk menahan tangisnya yang sebenarnya tidak mau menangis. Lalu, ia berpikir mengapa rasa takut muncul lagi setelah beberapa hari ia tidak memikirkan bagaimana rasanya perpisahan.
"Sudahlah, kita menikah saja. Biar kamu selalu ada untukku di sini selamanya. Tidak pulang pergi lagi." Ucapan itu selalu terngiang di kepala perempuan itu. Terlebih lagi, seleksi yang membuat ia begitu tertinggal dan takut. Takut yang kelewat takut. Entahlah, begitu takut.
Usai menenangkan diri terkait banyak mulut yang mengomentari seleksi itu, ia mengambil telepon gengam lelaki itu dan membacanya. Melihat pesan yang perempuan itu kirimkan terkait informasi penting seleksi itu. Hatinya kembali takut. Perasaan yang tidak ia rasakan selama beberapa hari ini. Namun, rasa takut muncul bertubi. Perempuan itu melihat adanya nama "Mine" di layar kontak lelaki itu. Pada awalnya, perempuan itu ingat benar pertengkaran yang menjadikan lelaki itu tidak mau menyimpan nomer perempuan itu. Kemudian menyimpannya dengan mana "Miss Jutek" dan akhirnya diubah menjadi "Mine".
Kembali takut. Entahlah. Takut untuk pulang, takut untuk kalah, takut untuk kehilangan. Perempuan itu benci dengan jarak dan kegagalan atau tangisan ratap yang luar biasa sial. Sembari melihat wajah lelaki itu yang penuh cinta, mencintai perempuan. Perempuan itu tidak tahan dan akhirnya bersembunyi di dunianya pada tengah malam. Menulis segala rasa takut yang sulit ia hadapi.
Mendengar lagu dari Kariyushi yang menjelaskan perpisahan dua insan melalui laut di sebuah pelabuhan. Membuat perempuan itu bebas untuk menangis sejadi-jadinya. Menangis akan ketakutan yang ia sembunyikan. Ia tidak mau dunia tahu akan kesedihannya dan takutnya, terutama di depan lelaki itu. Namun, wajah lelaki itu kembali lagi membayangi pikiran dan wajahnya. Perempuan itu merasa bersalah telah membiarkan lelaki itu dengan tulus mencintainya, sedangkan perempuan itu hanya bersantai dan membiarkan semuanya berjalan dengan bebas seperti angin yang bertiup.
Aku ingin menangis di dadamu
mendengar detak jantung yang mungkin menenangkanku
Kembali takut. Entahlah. Takut untuk pulang, takut untuk kalah, takut untuk kehilangan. Perempuan itu benci dengan jarak dan kegagalan atau tangisan ratap yang luar biasa sial. Sembari melihat wajah lelaki itu yang penuh cinta, mencintai perempuan. Perempuan itu tidak tahan dan akhirnya bersembunyi di dunianya pada tengah malam. Menulis segala rasa takut yang sulit ia hadapi.
Mendengar lagu dari Kariyushi yang menjelaskan perpisahan dua insan melalui laut di sebuah pelabuhan. Membuat perempuan itu bebas untuk menangis sejadi-jadinya. Menangis akan ketakutan yang ia sembunyikan. Ia tidak mau dunia tahu akan kesedihannya dan takutnya, terutama di depan lelaki itu. Namun, wajah lelaki itu kembali lagi membayangi pikiran dan wajahnya. Perempuan itu merasa bersalah telah membiarkan lelaki itu dengan tulus mencintainya, sedangkan perempuan itu hanya bersantai dan membiarkan semuanya berjalan dengan bebas seperti angin yang bertiup.
Aku ingin menangis di dadamu
mendengar detak jantung yang mungkin menenangkanku
mendengar napas hangat yang tertiup di ubunku
merasakan kehangatan dan aroma tubuh kas yang mudah kukenal
aku takut, ternyata aku takut tuk kehilangan
-Perempuan Pencinta Malam, tengah malam-
merasakan kehangatan dan aroma tubuh kas yang mudah kukenal
aku takut, ternyata aku takut tuk kehilangan
-Perempuan Pencinta Malam, tengah malam-
Komentar
Posting Komentar