Langsung ke konten utama

Contoh Laporan Sosiolinguistik : Laporan Penelitian Ragam Bahasa


LAPORAN PENELITIAN RAGAM BAHASA PASAR DITINJAU DARI PERSPEKTIF SOSIOLINGUISTIK
diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiolinguistik dari
Bapak Dr. Andoyo Sastromiharjo, M.Pd.

LAPORAN

Di susun oleh :
Diana Anggraeni          1203072
Nengsih                       1203066
Roma Kyo Kae S         1206341
Santika                         1203070
Wida Kartika               1204584
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2014
1.      Latar Belakang
Variasi atau ragam bahasa merupakan bahasan pokok dalam studi sosiolinguistik, sehingga Kridalaksana (1974) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai cabang linguistik yang berusaha menjelaskan ciri-ciri variasi bahasa dan menetapkan korelasi ciri-ciri variasi bahasa tersebut dengan ciri-ciri sosial kemasyarakatan.
Ragam bahasa yang diteliti merupakan ragam bahasa pedagang termasuk ragam kolokial. Ragam kolokial merupakan ragam sosial yang digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Pasar inpres Desa Pagaden Kecamatan Pagaden Kabupaten Subang merupakan objek penelitan yang peneliti gunakan sebagai sumber wawancara karena Kabupaten Subang merupakan daerah perbatasan yang memungkinkan timbulnya berbagai macam ragam bahasa yang menjadi tujuan dalam penelitian ini.

2.      Tujuan Penelitian
·         Mengetahui ragam bahasa yang digunakan di pasar Inpres Desa Pagaden Kecamatan Pagaden Kabupaten Subang.
·         Mengetahui pemertahanan bahasa oleh penutur.
·         Mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya ragam bahasa di pasar Inpres Desa Pagaden Kecamatan Pagaden Kabupaten Subang.
·         Mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya pemertahanan bahasa di pasar Inpres Desa Pagaden Kecamatan Pagaden Kabupaten Subang.

3.      Metode Penelitian
Metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud; cara kerja yang terstruktur untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan untuk mencapai tujuan yang ditentukan. Pemahaman ilmu bahasa harus pula dikaitkan dengan metodeloginya. Kejelasan suatu penelitian dan keilmiahannya dapat dilihat dari metodeloginya. Metodelogi dalam penelitian linguistik harus dipertimbangkan dari dua segi, segi penelitian itu sendiri yang mencakup pengumpulan data beserta cara, dan teknik serta prosedur yang ditempuh; segi lain adalah metode kajian (analisis) yang melibatkan pendekatan (teori) sebagai alat analisis metode penelitian.
3.1  Pendekatan Kualitatif
Istilah penelitian kualitatif menurut Kirk dan Miller (1986: 9) pada mulanya bersumber pada pengamatan kualitatif yang dipertentangkan dengan kuantitatif.Pengamatan kuantitatif melibatkan pengukuran tingkatan suatu ciri tertentu. Untuk menemukan sesuatu dalam pengamatan, peneliti harus mengetahui apa yang menjadi ciri hal tersebut. Untuk itu pengamat mulai mencatat atau menghitung (kuantitas). Berdasarkan pertimbangan penghitungan kadang-kadang peneliti memasukkan penelitiannya secara kuantitatif. Di dalam penelitian data harus diperhitungkan, peneliti harus mengetahui jumlah data keseluruhan, dan di dalam klasifikasi pun jumlahnya harus akurat. Penelitian kuantitatif mencakup setiap jenis penelitian berdasarkan: persentase, rata-rata, chikuadrat dan penghitungan statistik lainnya.
Penelitian kualitatif disebut juga penelitian “naturalistik” atau “alamiah”, “etnografi”, “interaksionis simbolis”, “perspektif ke dalam” , “etnometodologi”, “the Chicago School”, “fenomenologis”, “studi kasus”, “interpretatif”, “ekologis”, dan “deskriptif”.
Penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan masyarakat tersebut melalui bahasanya, serta peristilahan.
Penelitian kualitatif menurut Moleong dalam Muhmmad (2011: 32-37), ada 11 ciri penelitan yaitu:
a.       Latar pelaksanaan penelitian kualitatif adalah alamiah, sesuai konteks yang alami. Konteks dan realitas menyatu-padu.  Mereka tidak terpisah. Realitas sosial yang banyak itu harus sejalan dengan konteks, tidak direkayasa dan tidak dipisah-pisah. Pemahaman yang utuh tentang penyatu-padunya realitas dan konteks berdasarkan tiga asumsi antologi, yaitu tindakan mengamati, memengaruhi apa yang diamati; konteks sangat menentukan makna temuan bagi konteks yang lain; stuktur nilai kontekstual merupakan penentu apa yang dicari.
b.      Instrumen penelitian kualitatif adalah manusia dan peneliti. Artinya, peneliti menjadi pengumpul data utama, karena mampu menyesuaikan diri terhadap data di lapangan. Selain itu, dia juga harus memapu memahami, menyadari dan mengatasi keadaan-keadaan itu.
c.       Ada tiga metode yang diterapkan oleh penelitian kualitatif yaitu pengamatan, wawancara dan telaah dokumen. Ada tiga pertimbangan dalam mengaplikasikan metode kualitatif, yaitu adanya realitas yang jamak, hubungan peneliti dan resonden dan lebih peka serta mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan pola-pola yang dihadapi (Moleong dalam Muhammad, 2011: 34).
d.      Metode menganalisis data dalam penelitian ada dua yaitu deduktif dan induktif. Metode induktif cenderung diterapkan dalam metode kualitatif, sedangkan metode yang lain digunakan di dalam metode kuantitatif.
e.       Menurut penelitian kualitatif, teori lahir dari data bukan teori melahirkan data. Dari data yang banyak dan beragam, teori subtantif dapat dimunculkan.
f.       Deskriptif adalah sifat data penelitan data kualitatif. Wujud datanya berupa deskripsi objek penelitian. Dengan kata lain, wujud data penelitian kualitatif adalah kata-kata, gambar dan angka yang tidak dihasilkan melalui pengolahan data statistika.
g.      Proses lebih dipentingkan dalam proses kualitatif sedangkan, penelitian kuantitatif lebih mementingkan hasil. Hubungan-hubungan antar bagian terlihat jelas dalam proses.
h.      Batas ditentukan oleh fokus dalam penelitian kualitatif (Moleong dalam Muhammad, 2011:35) penulis berpendapat bahwa fokus merupakan objek yang dituju peneliti.
i.        Moleong dalam Muhammad (2011:35) menyatakan bahwa validitas, reliabilitas, dan objektivitas penelitian kualitatif berbeda dengan kuantitatif. Secara umum, validitas dan reliabilitas merujuk pada masalah kualitas data yang dihasilkan, ketetapan metode yang digunakan untuk melaksanakan penelitian. Dengan kata lain, data dan metode penggaliannya berkaitan dengan keterandalan dan kesahihahan.
j.        Menurut Moleong dalam Muhammad (2011: 36-37) desain penelitian kualitatif bersifat sementara. Muhammad berpendapat bahwa rancangan penelitian berubah sesuai dengan kondisi situasi atau konteks di lapangan.
k.      Hasil penelitian berupa pengertian dan interpretasi yang dihasilkan melalui kesepakatan sumber data atau informan (Moleong dalam Muhammad, 2011:37) munculnya kesepakatan yang menjadi sumber hasil penelitian yang disebabkan oleh tiga hal yaitu diangkatnya susunan kenyataan dari informan, kualitas hubungan antar peneliti dan yang diteliti menunjukkan hasil penelitian dan hasil verifikasi hipotesis kerja kan menjadi lebih baik bila diketahui dan dikonfrimasi oleh informan yang terkait.

3.2  Metode Etnografi Komunikasi
Menurut Kridalaksana (2008: ) etnografi komunikasi atau ethography of communication adalah bidang etno linguistik atau sosiolinguistik yang mempelajari bahasa dalam hubungannya dengan semua variabel di luar bahasa. Menurut Chaer (2010: 172), etnografi berbahasa adalah kajian mengenai etika berbahasa. Etika berbahasa erat kaitannya dengan pemilihan kode bahasa, norma-norma sosial, dan sistem budaya yang berlaku dalam satu masyarakat. Oleh karena itu, etika berbahasa bertujuan mengatur:
a.       apa yang harus kita katakan pada waktu dan keadaan tertentu kepada seorang mitra tutur tertentu berkenaan dengan status sosial dan budaya dalam masyarakat itu;
b.      ragam bahasa apa yang paling wajar kita gunakan dalam situasi sosiolinguistik dan budaya tertentu;
c.       kapan dan bagaimana kita menggunakan giliran berbicara kita dan menyela pembicaraan orang lain;
d.      kapan kita sadar peran dalam situasi komunikasi;
e.       dan bagaimana kualitas suara dan sikap fisik kita dalam komukasi.

3.3  Data Berupa Ragam Bahasa
Data yang diperoleh  peneliti pada laporan ini adalah ragam bahasa kolokial.
3.4  Sumber Data dari Wacana Percakapan
Data yang diperoleh merupakan hasil wawancara dan pengamatan yang peneliti lakukan di lapangan, yang bertempat di pasar Inpres Pagaden Desa Pagaden Kecamatan Pagaden Kabupaten Subang.

3.5  Responden
Penelitian ini didasarkan dengan adanya responden yaitu peneliti dan pedagang.
3.6  Latar Penelitian
Latar penelitian ini berupa waktu, ruang dan suasana. Berikut adalah penjelasan mengenai latar dalam penelitian ini:
Waktu             : 13 Desember 2013 pukul 14. 19 WIB
Tempat            : Pasar Inpres Pagaden Desa Pagaden Kecamatan Pagaden Kabupaten Subang
Suasana           : Tidak begitu ramai karena wawancara yang dilakukan oleh peneliti pada hari Jumat yang merupakan hari di mana orang-orang tidak banyak berbelanja dan didukung oleh waktu yang sudah siang. Selain alasan tersebut, ada pula pengaruh cuaca hujan yang menjadikan pasar tidak begitu ramai oleh pembeli seperti biasanya.

4.      Analisis Data Penelitian
4.1  Lokasi penelitian
Secara geografis Kabupaten Subang terletak di Jawa Barat bagian utara, memiliki wilayah seluas 1.864 KM2 atau sekitar 4,31 persen luas Jawa Barat. Menurut data tahun 2008 penduduk Kabupaten Subang berjumlah 1.446.889 orang dengan laju pertumbuhan penduduk 1,75 persen pertahun dan tingkat kepadatan penduduk mencapai 705 jiwa per KM2.
Kepadatan penduduk di Kabupaten Subang terjadi karena letak geografis yang memungkinkan banyaknya pendatang dari luar Subang baik dari Jawa maupun luar Jawa. Banyaknya pendatang dapat dilihat dari keberagaman bahasa komunikasi yang mereka gunakan khususnya di pasar Inpres.
Pasar Inpres Pagaden merupakan salah satu pasar yang ada di Kecamatan Pagaden. Ada sekitar 400 kios di pasar ini yang menjual berbagai kebutuhan sehari-hari.

4.2  Data penelitian
Data yang diperoleh merupakan hasil percakapan antara pedagang dengan pedagang, pedagang dengan pelanggan dan pedagang dengan peneliti bahasa. Pada umumnya bahasa yang digunakan di pasar Inpres adalah bahasa Sunda tetapi bahasa Jawa, Batak dan bahasa Melayu  juga hidup berdampingan dengan bahasa Sunda. Dari 400 pedagang hanya lima pedagang yang diamati karena dirasa bisa mewakili keseluruhan, dapat menjadi cerminan penggunaan bahasa di pasar Inpres secara umum.
Ragam bahasa yang digunakan bermacam-macam. Meskipun begitu antar penutur ragam, masih bisa saling memahami dalam berkomunikasi sebab inti sari bersama atau terasnya umumnya sama. Keberagaman ini bisa dikenali melalui golongan penutur bahasa dan menurut jenis pemakaian bahasa. Dilihat dari pemakaian bahasa, ada bermacam-macam dialek yang muncul. Dialek-dialek yang muncul tersebut adalah bahasa Indonesia dialek bahasa Sunda. Berikut adalah salah satu percakapan antara pembeli dan pedagang.
Percakapan:
A: “Ini berapa yang gini?”
B: “Yang itu murah da. tiga puluh?
Percakapan ini terjadi di sebuah toko di pasar Inpres yang menjual pakaian. Si A melakukan aktivitas berbahasa, bertanya tentang harga pakaian. Aktivitas ini melahirkan ungkapan ini berapa yang gini? untuk mencari informasi harga pakaian yang akan dia beli. Tuturan bahasa yang digunakan oleh si A menggunakan bahasa Indonesia variasi kolokial gaya santai (Halliday), karena sesuai situasi berbahasa yang tidak formal. Si B menjawab dengan ungkapan yang itu murah da. Tiga puluh? yang termasuk aktivitas berbahasa untuk menginformasikan kesepakatan harga pakaian. Tuturan bahasa yang digunakan oleh si B menggunakan bahasa Indonesia yang dicampur bahasa Sunda. Diksi-diksi yang digunakan oleh A dan B berbeda. Bentuk kalimatnya juga tidak sama. Perbedaan ini di sebabkan oleh aktivitas berbahasa, makna dan fungsi bahasa. Kata da menandai penutur memiliki bahasa ibu yaitu bahasa Sunda.
Terdapat percampuran bahasa Indonesia dengan bahasa Sunda, dalam istilh linguistik disebut alih kode dan campur kode. Appel dalam Chaer (2010: 107) mendenifisian alih kode itu sebagai “gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Dalam data penelitian tidak ditemukan adanya alih kode. Di dalam campur kode terdapat kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tersebut tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode. Seorang penutur misalnya, yang dalam berbahasa Indonesia banyak menyelipkan serpihan-serpihan bahasa daerahnya, bisa dikatakan telah melakukan campur kode. Hal ini dapat dilihat dari percakapan antara pedagang dan pedagang sebagai berikut:
Pelanggan  : “Ada rok pendek?”
Pedagang  : “Aya na nu ieu teh.
Pelanggan  : ”Pengen yang pendek, gak ada?”
Pedagang1: “Ke sakeudap urang taroskeun kapayun (pergi ke took lain). Rok pendek?”
Pedagang2            : ”Teu aya
Pedagang1            : (kembali ke tokonya) ”aduh nggak ada neng.
Pelanggan : ”Oh ya sudah makasih Bu.
Di dalam percakapan di atas, pedagang menggunakan bahasa Sunda dalam ujarannya menyelipkan bahasa Indonesia, seperti kata ‘pendek’, nggak’, dan ‘ada’. Klausa berikutnya sepenuhnya menggunakan bahasa Indonesia. Jadi, dapat disimpulkan bahwa bagian awal teks kalimat kedua dalam percakapan di atas sampai dengan kata ‘kapayun’ berupa bahasa Sunda. Alih kode ke dalam bahasa Indonesia dimulai dari kata ‘rok pendek’. Sementara pelanggan menggunakan bahasa Indonesia dalam ujarannya  menyelipkan serpihan-serpihan bahasa daerah yaitu bahasa Betawi, seperti pada kata ‘pengen’ dan ‘nggak’.
Selain adanya campur kode, dalam percakapan di atas adanya ragam kolokial.Hal ini dapat dilihat dari percakapan yang dilakukan oleh pedagang dan pelanggan dalam situasi tawar-menawar. Ragam bahasa yang digunakan di dalam percakapan tersebut singkat, padat dan jelas tetapi sesuai dengan kalimat dalam tuturan langsung.
Hal ini karena percakapan tersebut terjadi di pasar dengan suasana yang ramai dan riuh sehingga memicu adanya percakapan yang terjadi antara pedagang dan pedagang langsung pada inti pembicaraan. Contoh kedua yang melibatkan campur kode antara pedagang alat asak dengan pembeli.Dapat dilihat dari percakapan berikut.
A: “Bapak kalo yang kaya gini ada yang besarnya nggak? (mengambil saringan).”
B: “Adanya yang kecil Neng.
A:“Yang kecil? Yang besar henteu aya?”
B:“Ga tau ya.”
A:“Yang sedeng jangan besar-besar banget.
C:“Kompor parafin ada nggak ya?”
B: “Gak ada, Neng.”
C:“Yang buat kemping, Pak. Yang gak pake minyak ada nggak?”
B:“Dari itunya merek? Paraffin.”
C:“Iyah.
B:“Itu mah tulis aja sendiri.”
C : “Hahaha.”
B :“Dulu Bapak juga gitu, nulis sendiri. Jadi mengajarkan anak bisa nggak otak kreatif. Saya sekolah gitu.
C:“Iyah sih, Pak tapi da ada merek parafin.
B:“Iyah kalo ospek gitu ditulis ajah mereknya.
Dalam percakapan di atas perkataan B selalu menyeikan serpihan-serpihan bahasa Sunda ketika menyapa pembeli dengan memakai sapaan ‘Neng’.Meskipun terdapat sapaan dalam bahasa Sunda tetapi terlihat sekali pedagang tersebut bukan orang Sunda. Hal tersebut diperkuat dengan dialek yang digunakan dalam ujarannya. Kata-kata dalam klausa di atas hampir semuanya menggunakan konvensi bahasa Indonesia, sapaan ‘Neng’ digunakan penutur sebagai kata ganti yang menyatakan hormat. Dari segi bahasa Indonesia yang digunakan dialek Padang, bukan bahasa Indonesia ragam baku. Ragam bahasa yang digunakan di dalam percakapan tersebut singkat, padat dan jelas tetapi  sesuai dengan kalimat dalam tuturan langsung.
Campur kode juga dapat dilihat dari percakapan di atas, A menuturkan bahasa Indonesia dialek Betawi. Hal itu terlihat dari pengunaan bahasa ‘kalo’, ‘kaya’, ‘gini’, dan ‘nggak’. Namun, terdapat penyelipan serpihan-serpihan bahasa bahasa Sunda yaitu pada kata ‘henteu’ dan kata ‘aya’. Percakapan ini terbilang unik karena kedua orang tersebut bukan orang Sunda asli terlihat dari dialek yang mereka gunakan. Hanya saja, lokasi penuturan yang memaksa keduanya untuk memakai bahasa Sunda sebagai tanda keakraban.
Berdasarkan contoh-contoh peristiwa di atas, akhirnya dapat dikatakan dalam peristiwa tutur tersebut telah terjadi campur kode, penyebab peralihan bahasa yang terjadi antara lain: pertama, lokasi penuturan yang memaksa para penutur memahami bahasa Sunda. Kedua, situasi penuturan yang memaksa penutur menggunakan bahasa secara singkat, padat dan jelas. Keektifan penuturan sangat ditekankan dalam prisiwa tutur ini. Ketiga, pemakaian bahasa dilihat dari segi pembeli (mitra tutur).
            Menurut salah satu pendapat seorang ahli, penutur dapat dikatakan sebagai dwibahasawan, karena penutur menguasai lebih dari satu bahasa dalam komunikasi sehari-hari. Penguasaan bahasa yang terjadi pada penutur dalam istilah linguistic dikenal dengan istilah diglosia. Diglosia adalah sesuatu situasi kebahasaan yang relative stabil, selain terdapat diaek utama dari suatu bahasa, terdapat juga ragam lain.

4.3  Ciri Khas Ragam Bahasa Pasar
Ragam bahasa yang dominan pada analisis data yaitu ragam bahasa kolokial atau gaya pergaulan, yang lebih spesifik ke arah santai. Terjadinya ragam bahasa kolokial ini disebabkan oleh adanya peristiwa tindak tutur dalam konteks suasana santai. Hal ini dapat dilihat dari percakapan antara pedagang dengan pedagang lainnya atau pedagang dengan pembeli yang menggunakan gaya santai dan kadang juga menggunakan gaya akrab.
Campur kode mendominasi setiap percakapan pada data yang dianalisis. Adanya bahasa Indonesia yang diselipi dengan serpihan-serpihan bahasa daerah yaitu bahasa Sunda. Ada juga yang menggunakan bahasa Sunda yang diselipi dengan bahasa Indonesia.
Selain itu, ciri khas ragam bahasa pasar adalah bahasa yang digunakan di dalam peristiwa tutur secara singkat, padat dan jelas.
4.4  Faktor Penggunaan Bahasa
Berdasarkan data bahasa yang diperoleh, data bahasa tersebut dapat mencerminkan faktor sosial penggunanya. Faktor sosial ini dapat berupa usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan status sosial. Berikut ini adalah analisis yang dilakukan oleh peneliti:
1.      Usia
Faktor usia dapat menjadi kekhasan dari data analisis. Usia dapat mencerminkan penggunaan bahasa. Dari data analisis, adanya usia yang berbeda pada pedagang yang diamati. Pada penelitian ini, peneliti tidak menanyakan usia pedagang melalui wawancara, peneliti hanya mengamati pedagang dengan raut wajah yang dimiliki. Pada analisis ini, peneliti menemukan adanya dua golongan usia. Golongan tersebut adalah golongan usia muda ( pada golongan ini, usia yang dimiliki adalah sekitar kurang lebih 40 tahunan) sedangkan pada golongan tua (golongan yang mempunyai kisaran usia sekitar kurang lebih 40 tahunan). Pada golongan usia muda, seperti pedagang pakaian dan asongan. Golongan usia muda ini,  pedagang pakaian dan asongan menggunakan bahasa yang dapat menyesuaikan dengan pembeli. Sebagai contoh, ketika pembeli menggunakan bahasa gaul atau tidak baku, para pedagang tersebut dapat memahami dan menyesuaikan dengan bahasa yang digunakan oleh pembeli.
Pada golongan usia tua pada data analis ini, contoh yang diperoleh adalah pedagang sembako, pedagang pakaian dan pedagang alat masak. Pada golongan usia tua, para pedagang umumnya menggunakan bahasa daerah yaitu bahasa Sunda yang diselingi dengan bahasa Indonesia begitu pula sebaliknya, ketika para pedagang menggunakan bahasa Indonesia diselingi dengan dialek bahasa Sunda. Pada umumnya, pada golongan usia ini, para pedagang tidak dapat menyesuaikan bahasa dari para pembeli selain bahasa Indonesia, bahasa Sunda dan bahasa Ibu yang dimiliki oleh para pedagang.
2.      Jenis kelamin
Dari data penelitian yan dimiliki oleh peneliti, peneliti memiliki lima data yaitu tiga orang perempuan dan dua orang laki-laki. Faktor jenis kelamin ini dapat mencerminkan ciri khas ragam bahasa pasar. Perempuan biasanya lebih banyak bertutur dengan pembeli untuk membangun keakraban dengan pembeli. Sedangkan para pedagang laki-laki dalam peristiwa tutur lebih bertutur seperlunya. Hal ini sangat berbeda dengan pedagang perempuan yang sering memancing pembicaraan.
3.      Pendidikan
Faktor pendidikan ini menjadi iri khas dalam ragam bahasa pasar. Pada data yang diperoleh oleh peneliti, sebanyak lima orang pedagang mempunyai pendidikan yang bervariasi. Dari kosakata yang dimiliki oleh penutur dapat dijadikan sebagai cermin pendidikan yang dimiliki oleh penutur. Sebagai contoh, pedagang yang menggunakan atau memahami bahasa Indonesia dengan kosakata yang benar, setidaknya pernah merasakan bersekolah di bangku pedidikan. Dari data yang dianalisis oleh peneliti, ada empat orang pedagang (dua pedagang pakaian, pedagang aksesoris dan pedagang sembako) yang menggunakan kosakata sederhana dalam penuturannya. Sedangkan satu orang pedagang lainnya yaitu pedagang alat masak di dalam penuturannya menggunakan kosakata yang luas dan memiliki wawasan yang luas. Hal ini dapat ditunjukkan dari tuturan pedagang di dalam peristiwa tutur yang berlangsung.
Melihat hal tersebut, dapat disimpulkan oleh peneliti bahwa keempat orang pedagang yaitu kedua pedagang pakaian, pakaian aksesoris dan pedagang sembako mempunyai tingkat pendidikan yang rendah sedangkan pedagang alat masak mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi dibandingkan dengan keempat pedagang lainnya.
4.      Pekerjaan
Dalam hal ini, faktor pekerjaan sangat dapat menjadi kekhasan dari ragam bahasa pasar di dalam penelitian ini. Penggunaan kosakata dan tema pembahasan yang ditututrkan oleh penutur sangat berhubungan dengan pekerjaannya sebagai pedagang dan identik dengan jenis barang dagangan. Contohnya: pedagang pakaian sangat paham dengan kosakata dan tema pembahasan mengenai pakaian, pedagang askesoris dengan kosakata dan tema aksesoris, pedagang sembako dengan kosakata dan tema sembako dan begitu juga dengan pedagang alat masak yang begitu paham dengan kosakata dan tema mengenai alat masak yang dijualnya.
5.      Status sosial
Faktor sosial dapat menjadi kekhasan dalam ragam bahasa pasar ini. Faktor sosial ini dapat dilihat dari segi ekonomi barang yang dijualnya. Selain dari segi ekonomi barang yang dijual, tempat berjualan juga dapat menjadi faktor sosial dalam penelitian ini. Contohnya adalah pedagang yang menjual pakaian dan alat masak yang mempunyai bahasa yang berbeda dengan pedagang yang menjual aksesoris dan sembako.
Berdasarkan tempat berjualan, para pedagang yang terdapat di dalam data bahasa ada yang berjualan di toko dan kios. Toko dan kios akan mempunyai nilai harga tempat yang berbeda yang akan menjadi perbedaan di dalam status sosial pedagang tersebut. Pedagang yang berjualan di toko akan menggunakan bahasa yang menarik untuk menarik perhatian pembeli. Misalnya pada pedagang pakaian yang menggunakan percapakan berikut.
1.      Pedagang toko
Pedagang1: “Ke sakeudap urang taroskeun kapayun (pergi ke toko lain). Rok pendek?”
Pedagang2            : ”Teu aya
Pedagang1            : (kembali ke tokonya) Aduh ga ada neng.

2.      Pedangan kios
              Pedagang kios dalam menawarkan barang tidak banyak negosiasi, apabila harganya sudah dirasa pas, pedagang akan langsung menyetujui kesepakatan tawar menawar tersebut.
              Berdasarkan dua contoh percakapan di atas terlihat adanya perbedaan penggunaan bahasa antara pedagang toko dan pedagang kios. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari cara bertutur keduanya. Pedagang toko akan cenderung menggunakan bahasa yang relatif bertele-tele dalam interaksi tawar menawar terebut, sehingga pemilihan dan penguasaan kosakata pedagang toko lebih banyak, disertai oleh adanya serpihan-serpihan kosakata dalam bahasa bantu niaga. Sedangkan pedagang kios cenderung lebih singkat dan tidak banyak melakukan negosiasi atau langsungpada inti percakapan dalam konteks negosiasi, sehingga pemilihan dan penguasaan pedagang kios lebih sedikit, baik itu bahasa Ibu maupun bahasa bantu. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan status sosial yang berimplikasi pada peristiwa tutur dalam konteks komunikasi atau ketika negosiasi antara pedagang dan pembeli.
4.5 Pemertahanan Bahasa
Data-data bahasa di atas mencerminkan adanya keragaman atau variasi bahasa penutur dan mitra tutur dalam berkomunikasi. Kecenderungan tersebut terlihat pada penggunaan bahasa Sunda atau bahasa Ibu (B1) oleh sejumlah penutur dari suatu masyarakat bahasa dalam hal ini masyarakat pasar Inpres Pagaden yang bilingual bahkan multilingual cenderung menurun akibat adanya bahasa 2 atau bahasa pemersatu yaitu bahasa Indonesia (B2) yang mempunyai fungsi lebih superior daripada B1. Namun, ada kalanya penggunaan B1 yang jumlah penuturya tidak banyak dapat bertahan pada pengaruh B2 yang lebih dominan dan jangkauan pemakaiannya bersifat nasional.
Pemertahanan bahasa Sunda di pasar Inpres Kecamatan Pagaden Kabupaten Subang masih terasa kuat dengan pemilihan kosakata bahasa sunda karena latar belakang pedagang lebih banyak yang berdomisili asli orang subang yang memiliki bahasa ibu yaitu bahasa Sunda sebagai bahasa pergaulan sehari-hari mereka. Adanya toleransi penduduk pendatang terhadap  bahasa Sunda. Hal ini tercermin dari penggunaan bahasa para pedagang, sementara bahasa yang digunakan pembeli dominan mempertahankan bahasa Indonesia karena dirasa bahasa Indonesia ini sebagai bahasa pemersatu yang dipahami semua orang di Indonesia.
Adanya loyalitas yang tinggi dari masyarakat pasar Inpres terhadap bahasa Sunda sebagai konsekuensi kedudukan atau status bahasa ini yang menjadi lambang identitas diri masyarkat Subang yang relatif menggunakan bahasa Sunda.
Berdasarkan pemaparan di atas pemertahanan bahasa pedagang dan pembeli memiliki pemertahan yang berbeda yaitu pedagang mempertahankan bahasa Sunda sementara pembeli mempertahankan bahasa Indonesia
5.      Simpulan
Bahasa sebagai sistem tanda bunyi ujaran yang bersifat arbitrer mempunyai sifat yang mengatur. Bahasa memiliki pola-pola atau aturan-aturan yang dipatuhi dan digunakan. Oleh pembicara dalam komunitas saling memahami. Dengan demikian, bahasa dapat dikelompokan atau di sebut juga variasi bahasa. Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh penuturnya yang homogen tetapi karena kegiatan interaksi sosial yang mereka lalukan beragam. Seperti halnya pada objek penelitian bahasa di pasar Inpres Desa Pagaden Kecamatan Pagaden Kabupaten Subang yang dilihat dari letak daerahnya berbatasan dengan Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Sumedang serta Kabupaten Bandung yang memungkinkan terjadinya kontak bahasa yang berbeda.
Ragam bahasa yang peneliti amati adalah santai yang dipakai di pasar atau bahasa kolokial atau ragam pergaulan dengan gaya santai. Penutur banyak menggunakan bentuk kata yang dipendekan, kosakatanya banyak dipenuhi unsur leksikal dialek dan unsur bahasa daerah. Seringkali struktur morfologinya dan sintaksisnya yang normatif tidak digunakan. Bahasa sunda dan bahasa Indonesia merupakan bahasa yang kuat di pakai penutur dan sering kali di campur kodekan. Campur kode mendominasi setiap percakapan pada data yang dianalisis. Adanya bahasa Indonesia yang diselipi dengan serpihan-serpihan bahasa daerah yaitu bahasa Sunda. Ada juga yang menggunakan bahasa Sunda yang diselipi dengan bahasa Indonesia.
Keragaman bahasa dapat pula dilihat dari faktor usia yang dapat dilihat dari kosa kata pemakaian bahasa. Golongan muda akan lebih cepat menyerap kosakata baru sementara golongan tua tidak serta merta mudah menyerap kosakata baru. Faktor jenis kelamin yang dapat membedakan topik yang dibicarakan yang berkenaan diksi-diksi yang dipakai. Faktor pendidikan sangat berperan dalam pemerolehan bahasa, khususnya bagi penutur yang memiliki bahasa ibu yaitu bahasa daerah, faktor pendidikan ini akan terlihat ketika penutur berbicara bahasa kedua yaitu bahasa Indonesia yang menjadi bahasa pendidikan. Terlihat dari kelancaran berbahasa Indonesia juga dalam gaya penuturannya.
Faktor pekerjaan berpengaruh dalam penggunaan kosakata dan tema pembahasan yang dituturkan oleh penutur sangat berhubungan dengan pekerjaannya sebagai pedagang dan identik dengan jenis barang dagangan. Faktor sosial juga dapat membedakan pemakaian bahasa pedagang toko yang dikatakan memiliki tingkat ekonomi atasakan cenderung menggunakan bahasa yang relatif bertele-tele dalam interaksi tawar menawar terebut, sehingga pemilihan dan penguasaan kosakata pedagang toko lebih banyak, disertai oleh adanya serpihan-serpihan kosakata dalam bahasa bantu niaga. Sedangkan pedagang kios cenderung lebih singkat dan tidak banyak melakukan negosiasi atau langsung pada inti percakapan dalam konteks negosiasi, sehingga pemilihan dan penguasaan pedagang kios lebih sedikit, baik itu bahasa Ibu maupun bahasa bantu.
Pemertahanan bahasa sunda di pasar Inpres Kecamatan Pagaden Kabupaten Subang masih terasa kuat dengan pemihan kosakata bahasa Sunda karena latar belakang pedagang lebih banyak yang berdomisili asli orang subang yang memiliki bahasa sunda sebagai bahasa pergaulan sehari-hari. Adanya toleransi penduduk pendatang terhadap bahasa Sunda. Hal ini tercermin dari penggunaan bahasa para pedagang, sementara bahasa yang digunakan pembeli dominan mempertahankan bahasa Indonesia karena dirasa bahasa Indonesia ini sebagai bahasa pemersatu yang dimengerti semua orang di Indonesia.











DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul.(2010). Sosiolinguistik Perkenalan Awal.Jakarta: Rineka Cipta.
Muhamad.(2011). Metode Penelitian Bahasa. Jogjakarta: Ar- Ruzz Media.
Djajasudarma, Fatimah. Metode Linguistik.Bandung: PT. Refika Aditama.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah berjudul Reduplikasi dalam Morfologi

Reduplikasi (Proses Pengulangan) dalam Morfologi d ibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Morfologi Disusun oleh : ( Kelompok 3 ) Indah Mufidah                                      (12 05744) Pertiwi Febriani                                     (12 05881) Roma Kyo Kae S                                 (1206341) Tri Mustika A                              ...

Laporan buku sastra anak

KUALITAS BUKU ANAK “SUWIDAK LORO” KARYA MURTI BUNANTA YANG SANGAT BAIK DARI SEGALA ASPEK oleh Roma Kyo Kae Saniro I. PENDAHULUAN  Sastra anak merupakan bagian paling penting untuk mencerdaskan anak-anak Indonesia. Kurniawan (2009:22) mengatakan sastra anak adalah sesuatu yang mengacu kepada kehidupan cerita yang berkorelasi dengan dunia anak-anak (dunia yang dipahami anak) dan bahasa yang digunakan sesuai dengan perkembangan intelektual dan emosional anak (bahasa yang dipahami anak-anak).  Di Indonesia dengan zaman yang semakin berkembang, sastra anak seakan terabaikan. Jarang sekali orang-orang untuk melirik sastra anak. Hal ini sungguh miris, karena sastra anak memiliki peran penting bagi anak-anak Indonesia. Usia anak-anak merupakan usia yang paling penting untuk mengajarkan apresiasi terhadap karya, khususnya karya sastra. Di usia anak-anak juga, secara langsung akan belajar mencintai membaca karena adanya apresiasi terhadap karya. Apabila anak-anak Indonesia menin...

Aliran Tagmemik dan Karakteristiknya

Latar belakang munculnya aliran tagmemik   1. Aliran Tradisional (abad IV) dipelopori oleh Plato dan Aristoteles 2. Awal abad XX lahir aliran Struktural yang dipelopori oleh Ferdinan de Saussure 3. Pada tahun 1967 muncul aliran Transformasi yang dipelopori oleh N. Chomsky 4. Aliran Strukturalisme muncul aliran Relasionalisme 5. Muncul aliran yang lain yakni Case Grammer 6. Aliran Tradisional mempunyai keunggulan dalam analisis fungsi-fungsi kalimat, aliran Struktural mempunyai keunggulan dalam analisis kategori-kategori gramatikal, aliran Case Gramar mempunyai keunggulan dalam analisis peran dan aliran Relasionalis mempunyai keunggulan dalam analisis hubungan antar bagian di dalam struktur. Inilah sebenarnya yang melatarbelakangi munculnya aliran Tagmemik yang elektik dan eklektik yang memilih unsur-unsur tertentu yang cocok untuk dipadukan menjadi satu kesatuan di dalam model analisis Sejarah Perkembangan Aliran Tagmemik     ...