Berasal dan akar kata ba dan aluk. Ba
(besar) dan aluk (gorowok) atau dengan kata lain aluk (merupakan
pemberitahuan pada tetangga sekampung (Atik, 1996 : 31 ). Beluk merupakan
sajian sekar berirama bebas atau sekar irama merdeka yang menggunakan dinamika
dengan ornarñenornamen dalam surupan tinggi, sehingga berliku- liku atau meluk.
Oleh karena itu, kesenian Beluk merupakan seni tradisional yang erat
hubungannya dengan kesusastraan wawacan yang menggunakan aturan pupuh. Pupuh yang biasa dipergunakan dalam kesenian
Beluk diantaranya Kinanti, Asmarandana, Dangdanggula, Sinom, Pangkur, Davina,
Lambung, Ludrang. Magatru, Maskurnambang, Gambuh, Gurisa, dll.
Ciri khusus kesenian beluk adalah
aluknya (suara petit atau jeritan yang tinggi) dengan terikat pada aturan yang
ketat dan tata cara baku yang turun- temurun.
Fungsi Seni Beluk adalah untuk menghibur diri, sebagai alat
komunikasi, religius, sosial dan rekreatif (hiburan). Beluk tidak lepas dari
mitos atau legenda yang beranggapan bahwa dengan menyanyikan Beluk dalam acara
syukuran bayi 40 harian, pernikahan atau sunatan akan mendapat berkah selain
hidupnya. Oleh karena itu pada praktiknya penyajian Beluk diawali dengan doa-
doa dan sesajen.
Sejarah
perkembangan seni beluk
:
lahir di daerah Jawa Barat dan Banten pada masyarakat ladang, yaitu masyarakat
yang menanam padinya dengan berhuma. Komunikasi antar petani menggunakan suara
yang berfrekuensi tinggi (meluk) karena rumah yang berjauhan agar terdengar.
Selain itu, untuk bertahan hidup dari binatang buas. Anak sebelum berumur 40
hari selalu ditunggu secara bergantian. Untuk menghilangkan rasa kantuk, mereka
bernyanyi menghibur diri secara bergantian dengan menggunakan suara tinggi, dan
salah satu dari mereka membaca atau ningali guguritan pupuh. Suara yang
dilantunkan dengan keras membuat binatang buas tidak berani mendekat. Selain
menghibur diri, dahulu beluk digunakan sebagai alat komunikasi yang dilakukan
ketika berada di tengah ladang atau saat melewati hutan belantara. Mereka
bernyanyi untuk memberitahukan posisi masing- masing. Untuk itu, nyanyian pun
tidak dengan bersenandung, tetapi dengan suara keras dan yang mendengarnya akan
menyahuti nyanyian tersebut.
Pemain Seni Beluk
Terdiri Ada
empat orang penyaji utama dengan peranan yang berbeda, yaitu 1) tukang ngilo
atau juru ilo, 2) tukang ngajual, 3) tukang meuli, dan 4) tukang
naekeun.
a.Tukang ngilo
(pembaca syair secara naratif).
Pembacaan dilakukan dalam tempo sedang dengan artikulasi yang jelas dan
dibacakan per padalisan (baris). Syair-syair beluk berasal dari
naskah-naskah cerita babad atau wawacan dan disajikan dalam bentuk pupuh
yang berjumlah 17, yaitu asmarandana, balakbak, dandanggula, durma, gambuh,
gurisa, juru demung, kinanti, ladrang, lambang, magatru, maskumambang, mijil,
pangkur, pucung, sinom, dan wirangrong.
b. Tukang ngajual (menyanyikan
syair yang dibacakan tukang ngilo sesuai dengan pupuhnya, namun cara
menyanyikannya tanpa ornamen).
c. Tukang meuli (melanjutkan sajian tukang
ngajual dengan tambahan ornamen pelengkap).
d. tukang
naekeun (melanjutkan sajian tukang meuli dengan nada-nada tinggi dan
meliuk-liuk. Di bagian ini ornamentasi vokal sangat dominan sehingga artikulasi
tidak diutamakan dan bisa menjadi sangat kabur. Setiap tukang naekeun
menyelesaikan satu bait, seluruh hadirin dan para penyaji lainnya memungkas lagu
secara bersama (koor) ).
Untuk
kelancaran pertunjukkan juga keselamatan bagi yang mengadakan syukuran, maka
terlebih dahulu selalu disediakan sesajen. Sesajen lengkap biasanya disebut dengan
‘parawanten’.
Pola Permainan
Seni Beluk
Dimainkan
semalam suntuk yaitu sejak pukul 19.00 setelah shalat isya sampai menjelang
subuh. Sepuluh hari sebelum pelaksanaan, biasanya para pemain memelihara
suaranya dengan minum ramuan jamu yang berkhasiat melegakan tenggorokan dan
melakukan pantangan (tidak makan makanan berminyak dan beraroma bau ).
Menjelang pelaksanaannya, biasanya pimpinan memeriksa segala perlengkapan baik
sesajen, wawacan dan seluruh pemain.
Orang
yang punya hajat harus memberi sambutan untuk menjelaskan maksud dipentaskan
kesenian Beluk, dilanjutkan dengan ceramah tokoh masyarakat. Lalu, sambutan
pimpinan kelompok tentang sejarah singkat kesenian Beluk dan diakhiri dengan
doa dan pembakaran kemenyan yang dilanjutkan dengan meminta izin pada leluhur
untuk hadir dalam penyajian kesenian Beluk serta minta maaf bila sesajen tidak
lengkap. Selanjutnya, dengan membaca wawacan oleh dalang sebanyak 2 kali
sebagai pembukaan. Setelah itu mulailah juru beluk atau tukang meuli
mengembangkan bans demi bans kalimat yang dibacakan oleh dalang secara
bergantian antara penembang yang satu dengan yang lain. Setiap akhir tembang
diselingi dengan alok secara rampak atau disebut madakeun atau ngagoongkeun.
Tema
yang disajikan disesuaikan dengan tujuan penyajian sehingga wawacannya perlu
disesuaikan. Sedangkan etika pelaksanaannya dilakukan di tengah rumah atau di
serambi rumah dengan duduk bersila dipimpin oleh seorang dalang yang harus
benar-benar hafal patokan- patokan pupuh. Seluruh penonton harus tertib tidak
boleh mengobrol, makan atau merokok agar pelaksanaannya dapat khuyuk.
Busana
yang digunakan pemain adalah ikat kepala, baju kampret, sarung batik dan celana
pangsi.
Materi tersebut saya peroleh dari kegiatan perkuliahan di kelas utnuk mata kuliah Apresiasi Bahasa dan Seni.
Komentar
Posting Komentar