Bunga kira, menikah adalah solusi dari bertahun-tahun yang menguras segala sesuatunya, baik mental, fisik, waktu, uang, maupun hal lainnya. Menikah seakan hanya menjadi momok yang menakutkan baginya kini. Lebih tepatnya adalah menikah dengan orang yang salah, dengan pria yang terus mempertahankan sikap egois dan individualisnya. Lalu, keluarganya yang selalu membelanya tanpa mencoba untuk menasihati yang semestinya laki-laki itu lakukan. Bunga terdiam dan menunduk untuk kebingungannya kali ini.
Bunga tak ingin memiliki pernikahan seperti orang yang gagal yang pernah ia temui. Ia pun menjadi sebuah ketidakadilan atas semua egoism pihak-pihak yang besar kepala tersebut. Ini Agustus, bulan yang ia sangat cintai dan penuh pengharapan di dalamnya. Bukan karena kemerdekaan negaranya, tapi ada sesuatu yang menyentuh bagi kalbunya.
Bunga dan lelaki itu sudah membina hubungan yang sangat lama dan panjang dengan penuh kekompleksan dan penuh rasa ingin menyerah pada awalnya dan rasa itu muncul kembali. Rasanya bingung untuk bertahun yang rumit dan tak dapat dijelaskan dengan beribu kata-kata. Perpindahan waktu baik detik, hari, minggu, bulan, atau tahun hanya menyita sebuah kesakitan yang mejangkit ke sela-sela plasma darah dan menyerabut membuat sarang trauma yang panjang.
“Ini Agustus. Semestinya, kita harus memutuskan ingin apa dan bagaimana terhadap hubungan ini. Aku sudah menunggu dan memberikan semua usaha yang kubisa. Namun, jika tidak ada kesepakatan, silakan saja kita akhiri tali merah jambu ini. Rasanya sudah lelah dengan berbagai pertikaian, sakit hati, kesedihan, atau bahkan psikologis dan jasmani yang dirusak. Andai kau tahu bagaimana gejolak hati ini, kuyakinkan bahwa kau akan menyesal telah menyakitiku selama bertahun-tahun ini”
Bunga hanya menyesali semua yang telah ia lakukan dengan menunggu berbagai ketidakpastian dan trauma yang menebal dalam benaknya. Seperti anak lainnya, Bunga ingin dipeluk dan bersandar di bahu ibunya yang dapat memberikan kenyamanan. Namun, jarak dan waktu memotong tajam harapan itu.
“Dulu, aku pernah bercerita tentang kita di masa depan, tentang harapan kita. Namun, kukira kau akan berubah menjadi lelaki yang perhatian, berani dan inisiatif untuk menghubungi dahulu, atau sekadar untuk menanyakan sudah makan atau kau lapar saat bertemu. Namun, egomu lebih menang daripada kau harus memedulikan perempuan yang kau pikir akan selalu kembali kepadamu walaupun dia sudah hancur semuanya. Kau begitu hebat dan piawai merusak anak orang. Hebat. Nyatanya, penampilanmu akan menipu semua orang.”
Bunga hanya terdiam dan memandang ke jendela yang kini telah berembun karena hujan sore itu. Ia hanya meratapi kesedihannya dan kebodohannya yang tidak pernah usai. Ia hanya meratapi bertahun-tahun yang sia-sia. Bertahan dengan lelaki egois yang tidak memedulikan pasangannya. Lalu, tanda tanya besar dan pertanyaan pun muncul, “Lalu, untuk apa untuk menikah?”
Komentar
Posting Komentar