“Kamu akan ke rumahku kan, Bunga? Tapi kamu jangan ke rumah pagi-pagi karena Ibuku harus bekerja.”
“Oke baiklah”
Siang itu, siang yang begitu mendebarkan untuk Bunga. Ia harus pergi untuk menemui lelaki yang katanya ingin menikahinya, ingin membina rumah tangga dengannya. Bunga telah mempersiapkan segalanya, buah tangan, baju, dan persiapan untuk menginap semalam ke kota lelaki dan ibunya tinggal. Ia bersiap naik travel ke kota itu.
Sesampainya di sana, lelaki itu menunggu di depan gerbang dengan senyum, tetapi tidak berusaha untuk menawarkan diri mengangkat bawaan Bunga.
“Biarlah, aku bisa mengangkatnya seorang diri”
Kali ini, Bunga disambut dan seakan diterima di rumah itu. Rasanya aman pikirnya. Lalu, ibu sang anak pun menawarkan untuk beristirahat bukan di kamar yang biasanya disewakan bagi mahasiswa, tetapi kamar adik lelakinya yang sangat pantas untuk ditempati.
Bunga akhirnya masuk ke kamar tersebut untuk beristirahat setelah beberapa saat basa-basi dengan ibu dan lelaki tersebut. Malam pun tiba, ia diajak untuk membeli makanan dengan motor yang baru saja dibeli keluarga itu.
Pesan ibunya, “Jangan lama-lama”
Entahlah, apa maksud ibunya, Bunga pun hingga saat ini tak dapat mencerna dengan baik. Bunga dan lelaki itu berjalan-jalan dan membeli makanan yang mereka inginkan. Namun, tidak ada yang spesial untuk saat itu. Semuanya biasa saja. Tidak ada yang mampu membuat Bunga sumringah.
Mereka makan malam berdua dan dipantau oleh Ibunya. Setelahnya, semuanya bersiap untuk tidur dan menyelesaikan kehidupannya saat itu.
Paginya, semuanya serba dadakan. Lelaki itu harus kembali ke kota X karena harus bertemu dengan berbagai orang yang memang harus ia jumpai dengan awal tujuannya adalah hal tersebut.
Ibunya pun berusaha untuk berceramah dan banyak hal yang dilontarkan. Namun, salah satu yang masih menjaggal adalah bahwa Bunga harus menerima anaknya dengan segala sikap anaknya yang sangat menyebalkan, penuh dengan ketidakpastian, cuek, individualis, tidak peduli dengan pasangan, komunikasi yang sangat berantakan, dll yang membuat Bunga hanya diam seketika ketika ditanya apakah ia mau menikah dengan anak lelakinya dengan sikap anaknya yang seperti itu.
“Semuanya aneh, bukankah semuanya dengan sikap yang buruk harus diubah dan tidak dipertahankan dengan begitu saja?”
“Apakah sikap buruk tersebut harus diterima begitu saja?!”
Bunga hanya diam dan mengangguk saat ditanyakan saja. Katanya, Bunga harus datang ke rumah saudaranya yang nantinya akan digelar pertemuan keluarga. Bunga harus meninta maaf atas semuanya. Rasanya, begitu tidak adil jika hanya Bunga yang disalahkan dengan berbagai keegoisan para keluarga yang dipantik oleh lelaki itu.
Ya, lebih tepatnya 2 tahun lalu, lelaki itu dengan sikapnya yang penuh cuek dan masa bodo membiarkan semuanya meledak dan hancur sia-sia. Semuanya, terjadi dengan mendadak dan melelahkan. Bunga hanya menerima situasi tersebut dengan penuh perjuangan. Berbagai hal ia lakukan untuk menyembuhkan hatinya, mental, dan fisiknya selama bertahun-tahun itu.
Bunga pun mengiyakan untuk pergi ke sana. Ibunya pun menyuruh Bunga untuk banyak belajar terkait dengan budaya mereka yang mereka agung-agungkan. Bunga pun mengiyakan dengan berbagai hal pertimbangan. Tidak hanya itu, Bunga pun disuruh untuk membawa buah tangan yang katanya sudah bisa dilakukan pada budayanya yang mereka elu-elukan.
Entahlah, Bunga semakin bingung. Mereka pun pergi ke kota X dan hati Bunga penuh dengan gejolak yang tidak pernah usai.
Komentar
Posting Komentar