Kau pernah berjanji bahwa kita akan bertemu siang itu lalu pergi kondangan bersama! Kau berjanji akan mempertemukanku dengan keluargamu! Namun, nyatanya, siang hingga malam itu, aku hanya menunggu hingga tertidur di tempat tidur tanpa adanya kabar darimu.
Kamu menghilang. Aku tak terima itu. Mengapa kau hanya memikirkan perasaanmu dan menghilangkan aku sejenak dari hidupmu? Apakah itu adil? Kau bersenang-senang atas sebuah kebahagiaan, tapi kumenangis di atas penderitaan yang kau ciptakan sejak bertahun-tahun lalu.
Kemarin sore, katanya, aku menolak untuk menikah dengan dirimu. Ya, aku menolaknya karena dirimu adalah dirimu yang penuh dengan sikap egois dan individualis, penuh dengan masa bodo dan cuek, penuh dengan komunikasi yang katamu mudah diubah, nyatanya, kita hanya penuh dengan debat kusir yang tidak menemui berbagai solusi. Kita hanya mencaci dan menyesal bahwa hubungan ini terus berjalan. Aku benci dengan semuanya!
Aku pikir, semuanya akan baik-baik saja pada sore itu. Kau akan memintaku dengan baik-baik dan melamarku untuk menikah bersamamu. Nyatanya, kau hanya penuh dengan pertanyaan dan pertanyaan yang menunjukkan bahwa kau tidak pernah yakin dengan diriku. Lalu, apakah salah jika ku menolak menikah dengan lelaki yang penuh dengan dunianya sendiri?
Lalu, lantas mengapa kau ingin menikahiku jika kau tahu bahwa aku membenci sikap cuek, ego, dan tidak perhatianmu kepadaku? Aku tak meminta untuk dinikahi dengan pernikahan mewah dan mahal, nyatanya, kita tahu bersama bahwa tabunganku lebih besar dari dirimu. Nyatanya, kau mengakui bahwa aku lebih mampu berkembang daripada dirimu. Lalu, apakah alasan yang mampu kuharus pertahankan untuk hubungan ini kecuali aku benar-benar tulus kepadamu?
Ini adalah rasa bimbang berkali-kali dalam bertahun-tahun bahwa waktu itu kumasih percaya bahwa kau akan berubah untuk hubungan yang membaik. Bukankah menikah adalah hubungan pasangan yang saling memahami? Namun, mengapa kau tak memahami pintaku. Atau, tolonglah untuk bertindak seperti lelaki normal lainnya yang dapat menghargai pasangannya. Kau kira dengan hubungan ldr akan baik-baik saja jika kau diam dan asyik dengan duniamu, sedangkan aku harus menunggu dan menunda semua duniaku karena duniaku teralihkan kepadamu?
Wajar bukan jika aku menolak berkali-kali untuk menikah dengan lelaki yang mungkin tidak ingin berubah atau memang sudah memiliki karakter yang tidak dapat diubah dan telah mendarah daging. Entahlah, kukira memang pada awalnya karena kau belum pernah menjalin tali merah jambu dengan perempuan lain. Nyatanya, bertahun-tahun tidak membuat dirimu berubah. Kau hanya kau penuh dengan ego dan keras kepalamu. Oh iya, aku ingat pula saat aku pulang dari rapat di hotel dan kau ada rapat di kantormu. Kita bertemu pada sore hari. Aku sudah bilang bahwa aku ingin makan atau jika pun kita melakukan aktivitas lain terlebih dahulu, kita harus makan.
Nyatanya, kau memang tidak peduli. Kau arahkan motor hingga tujuan akhir tanpa menanyakan tempat makan atau memberikan rekomendasi untuk makan. Kau mengantuk dan hanya memikirkan diri sendiri. Lalu, aku???
Sepertinya aku yang terlalu berlebihan untuk mengemis perhatianmu atau bagaimana? Mengapa semuanya harus didikte? Padahal, kau bilang akan menikahiku! Nyatanya, sama saja. Apakah aku pun harus tetap bertahan hingga pernikahan nanti? Sedangkan aku harus patuh denganmu melalui doktrin-doktrin yang kau berikan.
Bagaimana aku tidak akan menyerah jika kau hanya memikirkan diri sendiri? Kau hanya egois dan tak ingin menanyai bagaimana keadaanku atau situasiku? Apakah aku sedang dipermaikan oleh isi kepalamu yang tidak dapat kuterka?
Kau tahu bahwa aku hancur memikirkan semua ketidakjelasan dan sikapmu yang menyebalkan. Bukankah jika kau ingin menikahiku kau semestinya berubah? Mengapa kau tetap mempertahankan egomu?
Aku lelah untuk menangis terus-menerus, sakit kepala, pikiran, dll. yang membuat semuanya terganggu. Apakah adil untukku? Tolonglah, aku lelah dicap sebagai orang jahat dan dipermalukan oleh dirimu dan penyebabnya adalah dirimu yang tidak berkomunikasi baik? Apakah adil jika aku yang harus menerima akibatnya? Rasanya, aku lelah.
Kau kira penolakanku untuk menikah adalah main-main? Kau cerna perkataanku pada malam itu hanyalah sebuah penolakan tanpa sebab. Kau hanya bebas dengan pikiranmu tanpa memikirkan bahwa ada niat lain di dalamnya agar meminta kau berubah?
Aku lelah menjadi perempuan didaktor yang kau bilang terlalu banyak kemauan dan permintaan. Lalu, apakah aku salah jika aku memberikan perkataan yang tidak didaktor dan kau harus menemui sendiri maknanya? Aku lelah menjadi perempuan yang tidak dapat dipahami olehmu. Apakah kau seperti ini hanya kepadaku atau aku yang salah karena kau sebenarnya tidak menginginkanku?
Aku lelah harus terus-menerus seakan menjejalimu dengan berbagai hal yang menyakitkan. Aku lelah untuk menjadi perempuan yang terkesan agresif dalam hubungan ini! Aku lelah! Apakah nanti jika menjadi seorang istri, aku harus patuh dengan dirimu yang sebenarnya tidak dapat memperlakukanku dengan baik?
Apakah salah jika aku menolak untuk menikah jika sikap dirimu seperti itu terus? Lalu, kau dengan mudahnya untuk pusing dan bimbang. Bukankah semuanya kembali kepada laki-lakinya? Aku sebenarnya malu, mengapa aku yang harus datang ke rumahmu. Bukankah seorang lelaki yang datang ke rumah seorang perempuan dan melamarnya?
Aku sudah memberikan tenggat waktu bulan ini. Namun, nyatanya, kau masih bertanya terkait berapa persen kepadamu. Ternyata, semuanya yang kuberikan tidak membuat dirimu untuk yakin atau kau hanya main-main kepadaku. Entahlah.
Kadang, aku merasa iri dengan lelaki lain yang dapat memperlakukan perempuannya dengan baik, perhatian, dan penuh kasih sayang. Nyatanya, apakah aku tidak pantas untuk diperlakukan seperti itu? Nyatanya, kau tahu bahwa banyak lelaki yang ingin menggantikan posisimu, tetapi aku terus memilihmu walaupun terkesan sangat menyakitkan bagiku. Memilih lelaki yang sebenarnya tidak ingin memperlakukanku dengan baik.
Lalu, aku harus apa? Kau banyak berjanji kepadaku untuk menikahi pada 2 tahun terakhir ini. Nyatanya, dari bulan Maret, Mei, Agustus, November, Desember tahun lalu dan tahun ini tetap saja tidak memberikan hasil. Terlebih lagi, pada bulan ini, aku memberikan tenggat dan kau mainkan perasaanku. Rasanya tidak adil, bukan?
Aku tidak pernah untuk menuntut lebih. Aku butuh perhatianmu! Butuh kehadiranmu untukku! Bukan hanya memikirkan dirimu dan keluargamu saja! Lalu, apa posisiku untuk hidupmu? Hanya sebagai penunjang status sedangkan kau tidak dapat memahami diriku yang harus memikul beban untuk menikah jarak jauh, hamil, melahirkan, dan mengurus anak sendiri? Banyak yang kurelakan. Namun, kau tak pernah memahaminya, bukan?
Aku hanya berada di titik yang sulit untuk diungkapkan. Jiwa, mental, fisikku sebenarnya sudah lelah dengan trauma, sakit hati, dan hal lainnya yang kau pun tidak mau membantu untuk menyembuhkannya. Kau selalu menjadi pemantik dan mengubahku menjadi seorang monster! Apakah itu namanya hubungan? Aku lelah untuk hubungan yang kuharapkan akan bahagia. Nyatanya, melelahkan, bukan?
Kau terus bertanya, apakah aku ingin menikah denganmu atau tidak? Bukankah jika kau serius, kau yang semestinya terus mengejarku dan meyakinkanku? Bukan aku yang seharusnya meyakinkan dirimu! Aku benci untuk berperan sebagai lelaki yang apa-apa aku harus melakukannya dan kau perempuan yang semuanya harus diperjuangkan! Aku pun mau seperti perempuan lainnya yang dikejar, dipertahankan dengan baik, diperhatikan, ditanya kabarnya, dll. yang aku rasa mengapa itu sulit sekali hadir dalam hubungan bertahun kita?
Pertikaian kita hanya membuat fisik dan mentalku rusak. Akhirnya, aku hanya menangis dan meratapi mengapa orang yang kucinta begitu ego dan gengsi untuk mengakui cintanya padaku dan tak ingin kehilanganku? Atau mungkinkah aku bukan perempuan yang diinginkannya?
Komentar
Posting Komentar