Oleh : Seno Gumira Ajidarma
Karena ia mencintai dia, dan dia
menyukai hujan, maka ia menciptakan hujan untuk dia .1
Begitulah hujan itu turun dari
langit bagaikan tirai kelabu yang lembut dengan suara yang menyejukkan. Dia
sudah tahu saja dari mana hujan itu datang.duduk di depan jendela, diusapnya
kaca jendela yang berembun. Jari-jari-nya yang mungil mengikuti aliran air yang
menurun perlahan di kaca itu.
”Hujan, o hujan …” Dia berbisik.
Dia begitu berbahagia menyadari cinta
kekasihnya yang begitu besar, sehingga menjelma hujan yang selalu
dirindukannya. Dia tahu betapa ia selalu memberikan yang terbaik untuk dirinya.
Dia terharu dengan cinta yang membuat segala benda dan peristiwa menjadi
bermakna. Dia memandang keluar jendela, menembus tirai kelabu, melewati desau
pohon-pohon bambu yang basah dan berkilat dalam hujan dan angin, mengirimkan
getaran cinta yang melesat sepanjang langit mnuju kekasihnya di balik kabut.
Kilat berkeredap dan guntur menggelegar diatas gunung dalam pertemuan cinta
yang panas dan membara.
Hujan itu tidak pernah meninggalkan
dia lagi. Hujan itu selalu mengikutinya ke mana pun dia pergi. Ke mana pun dia
datang, datang pula hujan ke tempat itu. Sambil menyetir, dari dalam mobil
selalu diusapnya kaca jendela. Dingin hujan itu dirasakannya sebagai dekapan
hangat kekasihnya. Cinta itu abstrak, pikirnya selalu, sepasang kekasih tidak
usah selalu bertemu, selalu berciuman, dan selalu bergumul untuk mempersatukan
diri mereka. Cinta membuat sepasang kekasih saling memikirkan dan saling
merindukan, menciptakan getaran cinta yang merayapi partikel udara, melucur dan
melaju ke tujuan yang sama dalam denyutan semesta. Dari milan, dari Kyoto, dari
Jakarta…
Terkadang dibukanya jendela mobil,
ditadahinya air hujan dengan tangannya, lantas direguknya. Begitulah caranya
cinta meresap kedalam tubuh, menjadi bagian dari alam. Meskipun bukan musim
hujan, selalu ada hujan yang turun hanya untuk dirinya. Bila dia keluar
rumah, lenyap pula hujan. Hujan itu mengikuti mobilnya sepanjang jalan.
Sepanjang jalan yang dilaluinya menjadi basah karena hujan, dan hanya jalan
yang dilaluinya saja menjadi basah dan sejuk sebentar karena hujan yang turun
ke bumi mengikuti dia atas nama cinta.
”Heran,” kata pembantu rumah tangga
di rumahnya, ”setiap kali ibu pergi, hujan berhenti, kalau Ibu datang, hujan
lagi.”
”Heran,” kata kawan-kawannya,
”belakangan ini, asal kamu datang pasti hujan, kamu pergi hujan hilang. Padahal
bukan musim hujan.”
Suaminya, yang selalupeka terhadap
suasana hati istrinya, menadahi air hujan itu, dan membawanya ke laboratorium.
”Ah, ini hujan karena cinta,”
katanya kemudian, ”siapa lagi yang jatuh cinta kali ini?”
Dia terkesiap dalam hati. Tapi
wajahnya dingin saja.
”Tidak ada apa-apa. Kenapa sih?”
”Kamu kira bisa menutupi perasaanmu
yang berbunga-bunga?”
Dia diam saja. Memang hatinya
berbunga-bunga.
Diluar hujan masih saja menderas. Air hujan menganak sungai disela-sela rumput, dedaunan basah dan bergoyang-goyang. Tanpa diketahui suaminya dia mengusap seluruh embun disetiap kaca jendela rumah dengan kedua telapak tangannya., lantas membasuh wajahnya. Tubuhnya bergetar dan jiwanya menangis karena terharu. Hujan yang sangat disukainyatak pernah lenyap lagi dari hidupnya. Kekasihnya yang tak terlihat telah mengirimkannya dari jauh atas nama cinta, hanya untuk dirinya saja.
Diluar hujan masih saja menderas. Air hujan menganak sungai disela-sela rumput, dedaunan basah dan bergoyang-goyang. Tanpa diketahui suaminya dia mengusap seluruh embun disetiap kaca jendela rumah dengan kedua telapak tangannya., lantas membasuh wajahnya. Tubuhnya bergetar dan jiwanya menangis karena terharu. Hujan yang sangat disukainyatak pernah lenyap lagi dari hidupnya. Kekasihnya yang tak terlihat telah mengirimkannya dari jauh atas nama cinta, hanya untuk dirinya saja.
”Hujan, o hujan” desahnya sembari
memandang keluar jendela setiap malam.
***
Kemudian tibalah saat ketika cinta
diantara dia dan ia memudar. Sebarapa lama sih umur cinta? Hujan yang semula
mewakili perasaan cinta yang dahsyat itu sekarang terasa sangat menganggu.
”Cinta kita sudah berakhir, kenapa
hujan itu masih saja mengikuti aku ke mana-mana? Lihat semua orang jadi
terganggu. Setap keluar mobil aku harus pakai payung. Jalan-jalan di halaman
rumah sendiri harus pakai jas hujan. Gimana dong? Kasihan tamu-tamuku.
Dimana-mana asal orang berurusan denganku menjadi kehujanan dan basah. Bisa
nggak kamu tarik hujanmu ini?”
”Mana bisa? Hujan itu akan selalu
ada selama aku masih mencintai kamu.”
”Kamu kira aku senang dicintai kamu?
Nggak usah cinta-cintaan lagilah. Tarik hujanmu ini.”
”Sudah kubilang, selama aku
mencintai kamu, tidak bisa.”
”Kalau begitu jangan mencintai aku.
Bikin repot saja.”
”Bukan salahku. Siapa yang cintanya
memudar? Dulu minta-minta dikasih hujan, sekarang omongannya begitu.”
”Bukan salahku aku tidak mencintai
kamu lagi. Cewek seabreg begitu. Mana kutahu kamu tetap setia?”
”Aku tetap setia. Menyentuh pun aku
tidak pernah.”
”Bukan itu ukuran kesetiaan”
”Apa dong?”
”Sudah kubilang cinta itu abstrak.”
”Tidak.”
”Menurut kamu?”
”Cinta itu konkret.”
”Buktinya?”
”Hujan itu.”
Ia dan dia betengkar sampai malam
sambil minum bir plethok. Aneh sekali. Mereka bahagia dalam pertengkaran itu.
Barangkali karena mabuk.
”Setidaknya kita masih punya
perasaan,” meraka merumuskan setangah mabuk.
Namun hubungan mereka tidak tertolong. Semenjak pertemuan terakhir itu, ia dan dia tidak pernah berjumpa lagi. Meskipun begitu hujan itu tetap mengiringi dia. Perempuan itu selalu bisa melihatnya dari balik jendela loteng, dimana dia mengalihkan cintanya melalu e-mail ke seluruh dunia.
Namun hubungan mereka tidak tertolong. Semenjak pertemuan terakhir itu, ia dan dia tidak pernah berjumpa lagi. Meskipun begitu hujan itu tetap mengiringi dia. Perempuan itu selalu bisa melihatnya dari balik jendela loteng, dimana dia mengalihkan cintanya melalu e-mail ke seluruh dunia.
”Masih cinta juga tuh si doi
sama istri macam kamu?” suaminya menyindir.
Dia tak pernah menjawab. Tapi dia
tahu jika ia masih mencintainya.
***
Sulit sekali bagi ia untuk tidak
mencintai dia. Selama itu pula ia tidak mampu menarikkembali hujan cintanya
yang menderas dari langit.
”Pikirkan saja istri kamu,” kata
istrinya yang menangkap kegelisahan suaminya, ”jangan istri orang lain jadi
beban pikiran.”
Ia tak pernah menjawab, karena tidak
ada yang bisa dijelaskan. Setiap kali ia melewati jalan layang yang terlihat di
mana sepetak hujan itu berada, tapi ia sudah tidak menghendaki perjumpaan macam
apapun. Hatinya hancur berantakan seperti keramik jatuh ke landasan dari
pesawat kargo yang sedang take off. Dengan kesal dihapusnya nomor-nomor
telepon dia dari hand-phone, namun ini hanya membuat ia semakin kesal,
karena toh masih hapal juga. Terlalu banyak hal dari dia telah meresap kedalam
dirinya dan tak mungkin dihapus untuk selama-lamanya. Gambar-gambar, foto-foto,
kata-kata. Waktu meninggalkan jejak, begitu pula saat-saat yang dilaluinya
bersama dia. Segenap makna perjumpaanya meresap kedalam hatinya dan ia tidak
bisa melupakan dia. Ia tak bisa lagi memandang segala sesuatu didunia ini
seperti sebelum berjumpa dengan dia, ia tak bisa lagi berpikir di luar cara
berpikir seperti dia. Mereka telah berpisah, tapi tidak terpisahkan. Begitukah
caranya cinta berada? Pikirnya. Tapi setiap kali berpikir ia teringat dia. Maka
ia berusaha berhenti berpikir. Ia marah sekali dengan cinta.
”Taik kucing dengan cinta,” umpatnya
dalam hati.
Namun pada suatu senja yang
gemilang, cinta jualah yang menyelamatkanya, ketika seorang dia yang lain
muncul kembali dari balik kenangan yang sudah terhapus. Dia tidak berkata apa-apa,
seperti kutipan sebuah saja: Tidak ada janji | pada pantai.2
Ia pun tahu, tak ada janji pada
perjumpaan yang manapun – tapi janji-janji memang tidak diperlukannya, karena
janji sebuah cinta yang paling mebara sekali pun hanyalah janji seuatu senja yang
terindah. Kecuali di negeri senja, adakah senja yang tidak berakhir?
”kuberikan segalanya untukmu,”
katanya kepada dia, ”kuberikan cintaku, jiwaku, hidupku, apa saja yang kau
mau.”
Dia hanya tersenyum menghela napas,
memandang senja yang dipantulkan kaca-kaca gedung bertingkat.
”Lihatlah senja di kaca gedung itu,”
kata ia kepada dia.
”Kenapa?”
”Bila engkau melewati jalan ini,
senja itu masih akan berada disana, selama-lamanya.”
”Bisa?”
”Bisa sekali, selama engkau masih
mencintaiku.”
”Aku tidak pernah mengatakan apa-apa
kepadamu.”
”Tidak perlu. Senja itu sudah
mengatakannya.”
Dia melihat langit senja yang
menjadi abadi di kaca-kaca gedung bertingkat itu. Dia tahu betapa sulitnya
melihat matahari tenggelam di Jakarta. Tapi kini ia telah mengabadikan senja ke
kaca-kaca gedung bertingkat untuk dirinya saja. Dia bahagia sekali, namun tidak
bisa berkata apa-apa. Ia pun tidak berkata apa-apa.
Mereka berdua menatap langit, kubah
senja yang merah membara bagaikan sebuah impian yang menjanjikan bahwa Negeri
Senja memang betul-betul ada. Tapi langit yang semburat kemerah-merahan itu
hanyalah sebuah janji yang sebaliknya. Setiap detik terjadi perubahan warna,
dari merah yang membara sampai memancar keemas-emasan ketika matahari mestinya
telah terbenam. Mereka tak bisa melihat matahari di balik gedung. Senja yang
keemasan-emasan itu kemudian dengan pasti menggelap, semakin gelap, dan menjadi
malam. Bagi mereka yang terbiasa mengamati senja, akan selalu tahu bahwa senja
belum betul-betul berakhir ketika matahari terbenam, dan senja masih juga
berbisiki-bisik ketika langit jadi gelap dan permukaan air laut yang tadinya
berwarna emas seolah-olah mendadak lenyap, tinggal kecipak suara lidah ombak.
Pada saat seperti itu, sebuah renungan telah mencapai kesimpulannya.
Namun mereak tidak berada di pantai.
Mereka di tengah kemacetan jakarta yang tidak membri peluang untuk kalimat yang
– seperti kutipan sebuah sajak–-bisa berlarat-larat .3
”Mengapa kita tidak mencari bir
plethok,” ujar perempuan itu.
Ia mengangguk. Ia berkesimpulan,
banyak perempuan Jakarta suka bir plethok.4
***
***
Dia memandang keluar jendela lagi
pagi itu. Sudah beberapa minggu ini diperhatikannya hujan itu berubah, dulunya
lumayan deras, sekarang kederasannya lumayan berkurang, meski belum jadi
gerimis.
”Apakah cintanya mulai berkurang?”
pikirnya.
Kali ini dia sendiri yang menadahi
air hujan itu dengan sebuah gelas, dan membawanya ke laboratorium.
Cinta mulai berkurang. Begitu tertulis dalam kertas
laporan, dan dia merasa kecewa. Aneh, dia sendiri yang dahulu menolak hujan
itu, dan sekarang ketika hujan itu menujukkan tanda-tanda mereda, dia merasa
penasaran.
”Kenapa cintanya bisa berkurang?
Cinta itu mestinya abadi dong!”
Dengan setengah panik dia
memencet-mencet handphone, tapi tiada jawaban. Dia kirimkan sebuah lagu
kelompok Queen melewati voice mail. Sebuah lagu yang menjerit:I Stil Love
Youuuu! 5
Tapi semuanya sudah terlambat. Pada
senja hari itu juga hujan yang selalu mengikuti kemana pun ia pergi berubah
menjadi gerimis dan akhirnya berhenti sama sekali.
”Hujan, o hujan, kemana kamu hujan,”
desahnya
Pada senja hari itu dia menatap
keluar dari jendela lotengnya, dilihatnya langit yang kemerah-merahan. Langit
begitu cerah. Hujan sduah berhenti. Dia tahu betapa ia menyukai langit senja
yang kemerah-merahan seperti itu. Dia ingin mengirimkan senja itu kepadanya,
sebagai tanda bahwa dia masih mencintainya – mungkin cintanya memang masih ada
sedikit, mungkin agak banyak, mungkin pula hatinya tak pernah berubah
sebetulnya, tak jelaslah. Saat itu, detik itu, dia ingin sekali.
Dia menatap langit senja di kejauhan sana, dan tahu itu bukan miliknya. Dia menghela napas dan berusaha mengatasi perasaanya.
”Mungkin aku terlalu sentimentil,” pikirnya.6
Pondok Aren, Minggu 30 Juli 2000.
Dia menatap langit senja di kejauhan sana, dan tahu itu bukan miliknya. Dia menghela napas dan berusaha mengatasi perasaanya.
”Mungkin aku terlalu sentimentil,” pikirnya.6
Pondok Aren, Minggu 30 Juli 2000.
Komentar
Posting Komentar